Laila menatap langit-langit kamar. Sudah 3 hari berlalu, tapi entah kenapa Laila tidak bisa melupakan suaminya. Padahal suaminya tidak memperlakukan dirinya dengan tidak baik, tapi Laila tidak bisa untuk tidak mencintainya. Dari awal menikah, Laila sudah bertekad untuk menjalankan rumah tangga sebagai mana mestinya.........
BAB ini terkunci. Dapatkan Password dengan menghubungi kontak WA Admin 082388497261. ONLY Rp 13.000 saja untuk mengakses seluruh Bab Terkunci sampai tamat
BAB 31 Tiba-Tiba Mual
Laila menatap langit-langit kamar. Sudah 3 hari berlalu, tapi entah kenapa Laila tidak bisa melupakan suaminya. Padahal suaminya tidak memperlakukan dirinya dengan tidak baik, tapi Laila tidak bisa untuk tidak mencintainya. Dari awal menikah, Laila sudah bertekad untuk menjalankan rumah tangga sebagai mana mestinya.
"Kamu berubah," lirih Laila dengan hati yang terasa sesak. "Aku kira pertemuan kita adalah takdir yang luar biasa, tapi ternyata tidak."
Air mata Laila mengalir. Entah kenapa rasanya sesakit ini. Apalagi dia tidak bisa menghilangkan foto kemesraan suaminya dengan Bella.
"Nak... Apa kamu masih tidur?"
"Tidak, Bu." Laila buru-buru mengusap air matanya.
"Sarapan dulu," ujar Ibu.
"Baik, Bu." Laila tidak boleh melewatkan sarapan lagi. Dirumah ini hanya ada Ibu, Ayah dan dirinya saja. Kedua adiknya sudah menikah dengan sudah punya kehidupan sendiri. Namun mereka juga rajin berkunjung dan menginap disini.
Laila menuju ke kamar mandi. Dia membasuh wajahnya terlebih dulu. Wajahnya terlihat tidak baik-baik saja. Laila berusaha untuk tersenyum, setidaknya dengan senyum ia terlihat lebih baik.
Laila keluar kamar. suasana di meja makan keluarga Laila terasa hangat seperti biasa. Aroma masakan menyebar ke seluruh ruangan, menandakan bahwa ibunya sudah menyiapkan sarapan yang lezat. Ayah duduk di kursinya sambil membaca koran, sementara ibu sibuk menuangkan teh ke dalam cangkir. Namun, di antara mereka, hanya Laila yang terlihat berbeda. Ia duduk diam, pandangannya kosong, dan bahkan belum menyentuh makanan di piringnya.
Akhir-akhir ini, Laila memang tampak kurang bersemangat. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, seringkali termenung tanpa alasan yang jelas. Orang tuanya sudah beberapa kali menanyakan apakah ada sesuatu yang mengganggunya, tetapi jawaban yang mereka dapatkan selalu sama—Laila hanya tersenyum kecil dan berkata bahwa ia baik-baik saja. Namun, sebagai orang tua, mereka tahu ada sesuatu yang sedang disembunyikan anak mereka.
"Kalau bosan dirumah, kamu bisa main ke kebun Nak," ujar Ayah. Apalagi sebelum menikah, Laila memang suka ke kebun sayur milik ayahnya.
Laila tersenyum. "Baik, Yah. Apa sudah musim panen?"
"Ada sayur yang bisa dipanen, tapi ada juga yang tidak."
Laila mengangguk.
"Makan yang banyak. Ibu buat makanan kesukaan kamu." Ibu mendekatkan sup di dekat sang anak.
"Baik, Bu. Terima kasih."
"Sama-sama, Sayang." Ibu mengusap pucuk kepala Laila dengan sayang.
Melihat makanan yang terhidang di atas meja membuat Laila tidak ada keinginan untuk makan. Padahal masakan ibunya adalah masakan yang terenak di dunia baginya.
“Laila, kenapa diam saja? Makanlah, Nak,” kata ibu lembut sambil menyodorkan sepiring nasi dan lauk lainnya ke hadapan putrinya.
Laila mengangguk kecil, lalu mengambil sendok. Namun, saat baru saja memasukkan suapan pertama, aroma tajam bawang goreng menyeruak ke dalam hidungnya. Seketika itu juga, perutnya terasa mual. Ia menutup mulut dengan tangan, lalu buru-buru berdiri dari kursinya.
“Ibu… aku… aku mau ke kamar mandi,” ucapnya terbata-bata sebelum berlari meninggalkan meja makan.
Ibu dan ayah saling pandang. Wajah ibu berubah serius, matanya mengikuti arah kepergian Laila yang tergesa-gesa.
Beberapa saat kemudian, suara air mengalir dari kamar mandi, diikuti oleh suara muntahan. Ibu segera bangkit dari kursinya dan menghampiri pintu kamar mandi. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu.
“Laila, kamu baik-baik saja?” tanya ibu dengan nada khawatir.
Beberapa detik hening sebelum akhirnya terdengar suara Laila dari dalam, “Aku nggak apa-apa, Bu… cuma mual.”
Ibu menggigit bibirnya, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih duduk di meja makan dengan ekspresi bingung. “Aku merasa ini bukan sekadar masuk angin,” gumam ibu pelan.
Tak lama kemudian, Laila keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Ia menyeka bibirnya dengan tisu dan berjalan pelan ke arah ibunya. “Maaf, Bu… aku tiba-tiba nggak enak badan.”
Ibu menghela napas panjang, lalu menuntun Laila untuk kembali duduk. “Sejak kapan kamu merasa seperti ini?” tanyanya hati-hati.
Laila terdiam, seolah ragu untuk menjawab. Namun, melihat ekspresi khawatir ibunya, ia akhirnya berkata lirih, “Aku nggak tahu, Bu. Aku cuma merasa lemas akhir-akhir ini.”
Ayah yang sejak tadi memperhatikan akhirnya ikut bicara, “Laila, kalau kamu ada masalah, jangan dipendam sendiri. Kamu bisa cerita ke Ayah dan Ibu.”
Laila tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Aku nggak apa-apa, Yah. Mungkin aku cuma kecapekan.”
Ibu masih menatap Laila dengan kening berkerut. Insting seorang ibu berkata bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Tapi dia tidak mau bertanya lebih lanjut.
Disisi lain, Alvian membuka mata dengan penuh kekagetan. "Tidak... mungkin," lirihnya. "Pasti cuma mimpi," lanjutnya lagi sambil geleng-geleng kepala.
Alvian seperti mengingat sesuatu yang tidak sengaja dia lupakan. Sesuatu yang membuat darahnya mendidih.
Alvian menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering, dan jantungnya berdegup kencang. Ingatan samar itu semakin jelas di kepalanya—malam di mana ia pulang dalam keadaan mabuk parah, langkahnya sempoyongan, dan dunianya terasa berputar. Saat itu, hanya ada satu orang di rumah.
Laila.
Alvian memejamkan mata erat, mencoba mengusir gambaran itu dari pikirannya, tapi justru semakin jelas. Ia ingat betapa hangat tubuh Laila saat ia meraihnya, bagaimana aroma lembut perempuan itu menenangkan dirinya yang saat itu kehilangan kendali. Ia bahkan bisa merasakan kelembutan kulitnya, detak jantung Laila yang berdebar kencang, dan suara napasnya yang tidak teratur.
"Argh…" Alvian mencengkram kepalanya. Kenapa ia baru mengingatnya sekarang? Bagaimana mungkin selama ini ia melupakan sesuatu yang begitu penting?
Ia mengutuk dirinya sendiri. Seharusnya, ia tidak menyentuh Laila dalam keadaan seperti itu. Seharusnya, ia sadar dan tidak membiarkan emosinya menguasai dirinya. Laila… bagaimana perasaan Laila saat itu? Apakah ia terluka? Apakah ia membencinya?
Alvian mengatur napas, berusaha tetap tenang, tapi pikirannya terus berkecamuk. Jika benar ingatan itu nyata. Alvian benar-benar sudah pantas mendapatkan predikat manusia sampah.
Alvian masih berusaha menyangkalnya. Dia meyakinkan diri bahwa ingatan itu hanya mimpi belaka. Tapi Alvian tidak bisa berpura-pura terus. Matanya langsung ke sebuah CCTV. Di kamarnya memang ada CCTV. Alvian hanya ingin berjaga-jaga karena jujur saja banyak berkas penting di dalam kamarnya. Tentu saja yang bisa mengakses CCTV hanya dirinya sendiri. Bahaya jika ada yang bisa mengakses selain dirinya.
Dengan tangan sedikit gemetar, Alvian membuka tabnya. Ia mengakses sistem keamanan rumahnya dan masuk ke folder rekaman CCTV di dalam kamarnya. Jantungnya berdebar kencang saat ia mulai mencari rekaman pada malam di mana ia pulang dalam keadaan mabuk parah.
Matanya bergerak cepat, membaca setiap timestamp rekaman. Sampai akhirnya, ia menemukan tanggal yang sesuai. Dengan napas tertahan, Alvian mengklik rekaman itu dan membiarkannya diputar.
Di layar, tampak dirinya memasuki kamar dalam keadaan sempoyongan yang dituntun oleh Laila. Bajunya kusut, dasinya lepas, dan ekspresinya benar-benar kacau. Alvian mengamati rekaman itu dengan seksama, berharap tidak menemukan sesuatu yang mengerikan. Namun, semakin lama ia menonton, semakin sulit baginya untuk menyangkal kebenaran.
Wajahnya terlihat khawatir saat ia mencoba menuntun Alvian agar duduk di tempat tidur. Ia tampak mengatakan sesuatu, mungkin menyuruhnya untuk berbaring dan beristirahat. Tapi yang terjadi setelahnya…
Alvian merasakan dadanya sesak saat melihat dirinya dalam rekaman tiba-tiba menarik Laila ke dalam pelukannya. Ia bisa melihat bagaimana Laila berusaha melepaskan diri, bagaimana ia terkejut dan bingung. Tapi saat Alvian semakin mendekat, seolah tidak sadar dengan apa yang ia lakukan, Laila tampak ragu… dan akhirnya berhenti melawan.
Dan kemudian—
Alvian langsung menghentikan rekaman. Tangannya mencengkeram meja dengan kuat. Napasnya memburu. Seluruh tubuhnya terasa lemas, tidak berdaya.
Jadi ini benar-benar terjadi…
Selama ini ia berpikir bahwa tidak pernah menyentuh Laila, bahwa ia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai suami. Tapi kenyataannya berbeda. Dalam keadaan mabuk, ia telah menyeberangi batas yang selama ini ia jaga.
Alvian menunduk, menatap layar tab dengan mata kosong. Apa yang sudah ia lakukan? Apalagi dia sampai melupakan kejadian itu. Apa nantinya Laila akan mau kembali padanya? Alvian sangat ketakutan sekali.
BAB 32 Menemui Laila
Alvian sudah membuktikan bahwa foto yang didapatkan Laila tidaklah foto asli. Bahkan Alvian sudah menunjukkan CCTV hotel dimana dia tidak sengaja bertemu dengan Bella dan hanya makan saja disana. Bukti-bukti yang ditunjukkan Alvian tidak bisa dibantah sama sekali. Bahkan dia membawa sebuah surat resmi dari Lembaga Forensik Digital. Jadi kakek Liam tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memberitahu dimana Laila berada.
Wajah Alvian lebih hidup dibanding sebelumnya. Jelas saja karena dia akan segera bertemu dengan Laila. Hal pertama yang harus Alvian lakukan adalah meminta maaf. Selain itu dia akan menjelaskan segalanya agar tidak terjadi salah paham.
Alvian hanya membawa tas ransel saja. Dia tidak ingin membuang-buang waktu dengan banyak membawa barang-barang. Tapi satu hal yang harus Alvian bawa untuk mengambil hati ayah dan ibu mertuanya.
Jujur saja, Alvian hanya 2 kali bertemu dengan ayah mertuanya. Kalau ibu mertuanya, hanya satu kali dan itu pada saat pernikahan terjadi.
Sebenarnya Alvian sedikit takut untuk bertemu dengan ayah dan ibu mertuanya. Bagaimana jika nanti Alvian diusir karena sudah menyakiti anaknya? Tapi hal tersebut wajar karena memang Alvian sudah melakukan menyakiti Laila.
Alvian mengecek barang-barang bawaannya kembali sebelum masuk ke dalam pesawat. Ada pakaian, makanan dan lainnya untuk dia bawa ke rumah mertuanya.
Alvian menarik napas panjang, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang semakin cepat. Ia menatap boarding pass di tangannya, memastikan sekali lagi bahwa semua sudah sesuai. Kali ini, tidak ada ruang untuk kesalahan. Ia harus menemui Laila, harus meminta maaf, harus mengakui semuanya.
Saatnya Alvia melakukan boarding, dia melangkah dengan langkah mantap. Namun, pikirannya tetap dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Bagaimana jika Laila menolaknya mentah-mentah? Bagaimana jika keluarganya tidak mau menerimanya lagi? Bagaimana jika… semuanya sudah terlambat?
Ia menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran negatif. Tidak, aku tidak boleh mundur.
Setelah menemukan kursinya di pesawat, Alvian menyandarkan kepala sejenak. Dia mengikuti penerbangan malam.
Alvian mencoba mengingat pertemuan pertamanya dengan ayah mertuanya. Seorang pria yang tegas dan berwibawa, dengan tatapan tajam yang mampu membuat siapa saja merasa kecil. Tidak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh makna.
Dan ibu mertuanya… wanita lembut yang terlihat begitu menyayangi Laila. Meskipun hanya bertemu sekali saat pernikahan, Alvian bisa melihat bagaimana ia mencurahkan kasih sayang untuk putrinya.
Mereka pasti marah pada Alvian.
Alvian mengepalkan tangannya. Kali ini, dia tidak akan lari dari tanggung jawab. Apapun yang terjadi, ia harus menghadapi konsekuensinya.
Setelah penerbangan beberapa jam, pesawat akhirnya mendarat. Alvian segera mengambil tas ranselnya dan melangkah keluar bandara. Udara di kota ini terasa lebih dingin, lebih asing dibandingkan sebelumnya.
Ia menarik napas panjang, lalu menaiki travel menuju ke perdesaan dimana Laila tinggal. Kira-kira membutuhkan waktu sekitar 6 jam perjalanan.
Alvian terpaksa bermalam di dalam mobil travel. Selama perjalanan, mobil travel berhenti beberapa kali karena ada yang ingin buang air kecil atau besar dan ada juga yang lapar.
Sepanjang jalan, Alvian memejamkan mata. Dia beristirahat sejenak sebelum menghadapi hal yang akan menguras tenaganya nanti.
Mobil travel yang ditumpangi Alvian berguncang cukup keras setiap kali melewati jalan berlubang. Sesekali, kepalanya terantuk sedikit ke jendela, membuatnya mengernyit kesal. Rasa lelah mulai menggerogoti tubuhnya, tapi pikirannya tak bisa benar-benar tenang.
Setelah enam jam perjalanan yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya mobil travel berhenti di sebuah desa yang terlihat tenang. Matahari sudah mulai condong ke barat, langit berubah menjadi oranye keemasan.
Alvian turun dari mobil, menggendong tas ranselnya. Ia berdiri di tepi jalan, menatap sekitar. Rumah-rumah tradisional berjejer rapi, suara ayam berkokok masih terdengar meski hari sudah sore. Aroma sawah yang khas menyelinap ke dalam hidungnya.
Kakinya terasa berat untuk melangkah.
Namun, ia tidak boleh ragu. Tidak lagi.
Dengan langkah mantap, ia mulai berjalan menuju rumah yang selama ini menjadi tempat perlindungan Laila. Ia belum pernah datang ke sini sebelumnya, tapi dari informasi yang ia dapat, rumah orang tua Laila tidak sulit ditemukan.
Beberapa orang desa sempat meliriknya heran. Wajar saja, dengan penampilannya yang masih mengenakan pakaian formal berbalut jas, ia terlihat begitu kontras dengan lingkungan sekitar. Namun, Alvian tidak peduli.
Ia terus melangkah.
Dan akhirnya, di ujung jalan yang sedikit menanjak, ia melihat rumah itu.
Rumah sederhana dengan pekarangan yang asri. Ada pohon mangga besar di halaman, dengan bangku kayu di bawahnya. Dari kejauhan, Alvian bisa melihat sosok perempuan tua tengah menyapu halaman.
Langkahnya sempat terhenti.
Itu ibu mertuanya.
Jantungnya berdetak lebih kencang.
Dengan napas yang sedikit tercekat, Alvian melangkah lebih dekat, dan akhirnya, suara beratnya keluar pelan.
"Ibu..." lirih Alvian dengan
suara yang hampir tak terdengar.
Perempuan yang sedang menyapu halaman itu langsung menghentikan gerakannya. Ia mengangkat wajahnya, menatap sosok pria yang berdiri di depan pagar rumahnya. Matanya menyipit, mencoba mengenali siapa yang baru saja memanggilnya.
Saat kesadarannya penuh, ekspresinya langsung berubah.
"Nak Alvian?" Ibu Laila tampak terkejut sekali.
Alvian menggaruk leher yang tidak gatal. Dia berusaha untuk tersenyum. "Selamat pagi, Bu."
"Ya ampun, Nak. Kenapa Laila tidak bilang kalau kamu datang hari ini?" Ibu Laila buru-buru membersihkan tangannya.
Respon Ibu Laila sangat berbeda dengan perkiraan Alvian. Alvian kira Ibu mertuanya akan marah dan mengusirnya, tapi ternyata malah sebaliknya.
Alvian sedikit terkejut, tapi ia segera menguasai ekspresinya. “Saya memang tidak mengatakan kepada Laila, Bu," jawabnya dengan suara sedikit ragu.
"Oalah... Kamu mau kasih kejutannya?" Mata Ibu Laila sangat berbinar-binar.
Alvian mengangguk pelan. Ia tidak ingin langsung menjelaskan alasan kedatangannya, karena bisa saja reaksi ibu mertuanya berubah jika tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Laila.
“Ayo masuk, Nak. Kamu pasti capek setelah perjalanan jauh. Maaf ya kalau rumah Ibu dan Ayah nggak bagus." bu Laila berbalik, membuka pagar rumah dan memberi isyarat agar Alvian masuk.
"Tidak apa-apa, Bu. Rumahnya bagus kok," balas Alvian.
Langkahnya agak ragu saat melewati gerbang rumah yang tampak sederhana namun begitu hangat. Udara khas pedesaan terasa lebih segar dibandingkan hiruk-pikuk kota yang selama ini ia tinggali. Aroma masakan pagi masih tercium samar, menyatu dengan embusan angin yang membuat suasana terasa lebih tenang.
Saat memasuki rumah, Alvian langsung merasakan kehangatan berbeda. Ini jauh dari rumahnya sendiri yang terasa dingin dan kosong. Di sini, segalanya tampak hidup. Ada foto-foto keluarga yang terpajang di dinding, dekorasi sederhana yang tertata rapi, dan suasana yang menenangkan.
“Duduklah dulu, Nak. Ibu buatkan teh hangat,” ujar ibu Laila seraya berjalan menuju dapur.
Alvian menuruti permintaan itu dan duduk di ruang tamu. Ia memperhatikan sekeliling, matanya mencari-cari sosok yang sejak tadi ingin ditemuinya. Tapi, Laila tidak ada di sana.
“Ibu,” panggilnya hati-hati saat wanita itu kembali dengan secangkir teh di tangan. “Dimana Laila?”
Ibu Laila meletakkan cangkir di atas meja, lalu menatap Alvian dengan senyum kecil. “Kamu rindu sekali ya?"
Alvian mengangguk dengan malu.
"Laila pergi ke kebun sayur. Tapi sebentar lagi pasti pulang. Kamu tidak perlu khawatir."
Jawaban itu cukup membuat Alvian sedikit lega, tapi juga membuat jantungnya semakin berdebar.
“Bagaimana kabarmu, Nak?” Ibu Laila bertanya, tatapannya lembut.
Alvian terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, padahal kenyataannya jauh dari itu? Ataukah ia harus mengungkapkan segalanya, termasuk rasa bersalah yang selama ini menghantuinya?
Akhirnya, Alvian memilih untuk tersenyum kecil. “Saya baik, Bu.”
"Syukurlah. Ibu kira kamu tidak akan datang soalnya kalau Ibu atau Ayah tanya ke Laila, dia selalu saja jawab kamu sedang sibuk."
Alvian terdiam. Jawaban itu membuatnya merasa semakin bersalah. Jadi selama ini, Laila selalu menutupi keadaan mereka di depan kedua orang tuanya? Apa dia melakukan itu agar orang tuanya tidak khawatir?
Ibu Laila tersenyum tipis, lalu kembali berkata, “Tapi, meskipun Laila bilang begitu, Ibu tetap bisa melihat kalau dia tidak baik-baik saja.”
"Apalagi kalian belum genap satu tahun menikah, masih masa-masa pengantin baru," lanjut Ibu Laila lagi.
Alvian berusaha untuk tersenyum, padahal dadanya terasa sesak sekali. Laila memang perempuan luar biasa.
"Oh ya, Ayo ibu tunjukkan kamar Laila. Kamu bisa meletakkan barang-barang disana dan beristirahat sebentar. Biasanya Laila pulang sebelum shalat zuhur."
"Tidak perlu, Bu. Saya disini saja." Alvian menolak. Bagaimana mungkin dia dengan tidak tahu malunya masuk ke dalam Laila.
"Kok tidak perlu? Kamar Laila kamar kamu juga. Kalian kan suami istri," ujar Ibu Laila.
Alvian tidak ingin membuat Ibu Laila sedih atau kecewa, jadi mau tidak mau Alvian menuruti keinginan ibu mertuanya itu. Dia diantar ke dalam kamar Laila. Kamar dengan nuansa yang tenang.
Alvian melangkah masuk dengan ragu. Kamar itu tidak terlalu besar, tapi terasa hangat dan nyaman. Warna pastel mendominasi ruangan, dan ada beberapa hiasan kecil di sudut-sudut yang memperlihatkan kepribadian Laila.
Di meja dekat jendela, ada vas berisi bunga segar. Alvian mendekat dan menyentuh kelopak bunga itu. Laila pasti menggantinya secara rutin. Dia selalu menyukai hal-hal kecil yang membawa ketenangan.
Tatapannya beralih ke lemari di pojok ruangan. Di sana, tergantung beberapa pakaian, salah satunya adalah sweater favorit Laila yang dulu sering ia pakai saat udara dingin. Entah kenapa, melihat sweater itu membuat dadanya semakin sesak.
Ia duduk di tepi tempat tidur, menghela napas panjang. Aroma lembut yang khas masih melekat di bantal dan selimut. Alvian menundukkan kepala, menyadari betapa kosongnya kehidupannya tanpa Laila.
Tangannya mengepal di atas lutut. Ia datang ke sini dengan tekad besar, tapi tetap saja, hatinya terasa berat.
Pintu kamar tiba-tiba diketuk. Ibu Laila muncul dengan senyum lembut. "Nak Alvian, kamu istirahat dulu, ya. Ibu mau lanjut masak di dapur. Nanti kalau Laila pulang, Ibu panggil kamu."
Alvian mengangguk. "Terima kasih, Bu."
Ibu Laila keluar, meninggalkannya sendirian dalam keheningan.
Alvian mengusap wajahnya, lalu merebahkan diri di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar yang bersih, tapi pikirannya penuh dengan bayangan Laila.
Seberapa besar luka yang telah ia torehkan di hati perempuan itu? Apakah masih ada kesempatan baginya untuk memperbaiki semuanya?
Tanpa sadar, kelopak matanya semakin berat.
Dan dalam aroma yang mengingatkannya pada perempuan yang ia rindukan, Alvian akhirnya terlelap.
BAB 33 Akhirnya Bertemu
"Pulang, Nak..." ujar Ayah karena khawatir dengan kondisi anak sulungnya itu. Padahal ayah sudah melarang Laila untuk mengerjakan apapun, tapi Laila tidak mau hanya diam saja.
"Sebentar lagi, Yah." Laila menolak.
"Wajah kamu pucat, Nak. Lebih baik pulang, Ayah khawatir." Ayah tidak bisa melanjutkan pekerjaannya karena khawatir dengan sang anak.
Laila tersenyum tipis, mencoba meyakinkan ayahnya bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, senyum itu tidak mampu menyembunyikan wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang tampak lebih lemah dari biasanya.
"Aku masih sanggup, Yah," ujarnya pelan, meski tangannya sedikit gemetar saat mencoba mengangkat keranjang berisi sayuran yang baru dipanen.
Ayah menghela napas berat. "Nak, kamu itu bukan hanya perlu istirahat, tapi juga butuh menjaga kesehatan. Kalau kamu terus memaksakan diri seperti ini, nanti malah jatuh sakit."
Laila menggigit bibirnya, menatap hasil panennya dengan mata sayu. Dia hanya ingin tetap sibuk agar pikirannya tidak dipenuhi oleh kenangan yang menyakitkan. Tapi, dia tahu ayahnya benar, tubuhnya mulai tidak bisa diajak kompromi.
"Baiklah, Yah." Akhirnya Laila menyerah.
Ayahnya tersenyum lega dan segera mengambil alih keranjang yang dibawa Laila. "Bagus. Sekarang pulang dan istirahat, biar Ayah yang menyelesaikan sisanya."
Laila mengangguk, lalu melangkah perlahan meninggalkan kebun. Setiap langkahnya terasa berat, bukan hanya karena tubuhnya yang lemas, tetapi juga karena perasaan yang masih terus menghimpit dadanya.
Saat tiba di rumah, Laila tidak melihat keberadaan ibunya. Kemana ibunya itu? Pintu kamarnya juga terbuka. Tapi tunggu... Laila kembali ke depan rumah. Ada sepatu yang asing, apalagi sepatu itu ukuran cukup besar.
Jelas sekali sepatu itu bukan milik ayah apalagi milik ibunya. Jadi siapa pemilik sepatu itu? Laila jadi ketakutan.
"Ibu..." panggilnya dengan suara pelan. Pikiran Laila malah mengarah kemana-mana, salah satunya yaitu ada orang jahat yang masuk ke rumahnya. Jantung Laila berdetak dengan cepat. Apalagi ayahnya sedang ada di kebun.
"Ibu..." panggil Laila lagi. Tapi tidak ada yang menyahut. Laila melangkah dengan was-was ke dapur. Kali saja ibunya ada disana. Tapi nyatanya dapur kosong. Hanya ada begitu banyak lauk pauk di atas meja makan.
Laila mengerutkan kening. Apa ada tamu yang datang? Kenapa ibunya sampai masak banyak begini? Entahlah, Laila jadi pusing sendiri. Dia mengambil teflon untuk berjaga-jaga. Kalau ada orang jahat yang masuk ke rumah, Laila bisa langsung memukulnya dengan teflon.
Laila menggenggam erat gagang teflon di tangannya, napasnya sedikit memburu. Ia melangkah perlahan, mengendap-endap menuju ruang tamu. Matanya terus mengawasi sekeliling, berjaga kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan.
Tujuan Laila adalah kamarnya. Dia melangkah dengan keringat dingin. Tapi Laila tidak boleh takut, apalagi ini rumahnya.
Laila terus melangkah dengan hati-hati. Setiap langkahnya terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. Jantungnya berdetak kencang, semakin tidak karuan ketika ia melihat pintu kamarnya terbuka sedikit.
Siapa yang masuk ke kamarnya?
Teflon masih tergenggam erat di tangannya. Dengan napas yang masih terengah, ia berhasil masuk.
Begitu matanya menangkap sosok yang terbaring di atas ranjangnya, tubuhnya langsung membeku.
Alvian.
Sosok yang suami yang ia benci sekaligus yang paling ia rindukan.
Laila merasakan tubuhnya lemas, jemarinya yang tadi erat menggenggam teflon tiba-tiba kehilangan tenaga. Benda itu jatuh ke lantai dengan bunyi berdentang keras.
Bunyi itu membuat pria yang tengah terbaring itu mengerjapkan mata. Alvian membuka matanya perlahan, tampak sedikit bingung sebelum akhirnya tatapannya bertemu dengan Laila.
Mata mereka terkunci.
Alvian sempat terdiam beberapa detik, seolah masih belum percaya bahwa wanita yang selama ini terus ada di pikirannya kini benar-benar berdiri di hadapannya.
"Laila..." suaranya serak, nyaris seperti bisikan.
Laila mundur selangkah, dadanya naik turun. Tatapannya berkabut oleh berbagai emosi yang bercampur menjadi satu.
Alvian segera bangkit, duduk di tepi ranjang. Matanya tidak lepas dari Laila, seolah takut jika ia berkedip, sosok itu akan menghilang.
"Laila, aku..."
"Kenapa kamu ada disini?" potong Laila cepat, suaranya bergetar.
Alvian terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku datang untuk menjemputmu," jawab Alvian dengan cepat.
Laila masih berusaha mencerna situasi yang terjadi. Kenapa Alvian ada di rumahnya? Terlebih lagi di kamarnya. Apa kakek yang mengatakannya? Laila sampai tidak bisa berpikir jernih.
Alvian merindukan Laila. Bahkan saat melihat Laila, Alvian ingin memeluknya dengan erat. Melampiaskan segala kerinduan, kefrustasian, ketakutan dan kegelisahan selama ini. Tapi Alvian tidak bisa melakukan itu, apalagi ia bisa melihat tubuh Laila yang tampak gemetaran saat melihatnya.
"Aku tidak ingin kembali," ujar Laila dengan mata berkaca-kaca. Bahkan air matanya keluar begitu saja. Sungguh memalukan sekali, padahal Laila tidak ingin terlihat cengeng begini.
Alvian panik. Dia langsung minta maaf dengan gelalapan. Air mata istrinya keluar karena dirinya. Alvian memang brengsek.
"Jangan menangis, Laila. Aku minta maaf..." Alvian menatapnya dengan raut wajah sedu.
Laila langsung mengusap air matanya. Dadanya naik turun. Semakin dia melihat Alvian, semakin ia ingin menangis.
"Maafkan aku..." lirih Alvian lagi.
Alvian turun dari ranjang. Dia langsung duduk bersimpuh di depan Laila. "Aku salah... aku sudah berbuat jahat. Aku minta maaf," ujarnya.
Laila terkejut. Dia bertambah bingung karena tiba-tiba Alvian seperti ini. Padahal saat awal-awal menikah, Alvian menatapnya dengan tajam.
Laila menggigit bibirnya, mencoba menahan gelombang emosi yang mengancam untuk meledak. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa Alvian tiba-tiba datang, meminta maaf, dan bahkan bersimpuh di depannya seperti ini?
Alvian yang ia kenal bukanlah seseorang yang mudah merendahkan dirinya. Namun kini, pria itu berlutut di depannya, seakan menyesali sesuatu yang sangat besar.
"Aku tidak butuh permintaan maafmu, Mas," suara Laila terdengar lirih, nyaris bergetar. "Semua sudah terjadi. Permintaan maaf tidak akan mengubah apa pun."
Alvian mengangkat wajahnya, menatap Laila dengan mata penuh luka. "Aku tahu, aku tahu, Laila. Aku hanya..." Suaranya tercekat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. "Aku hanya ingin kamu tahu, aku menyesal. Aku benar-benar menyesal."
Laila mengalihkan pandangannya. Matanya memanas lagi. Ia benci perasaan ini, benci karena hatinya masih bisa terguncang oleh pria ini.
Laila tidak ingin ibunya tahu tentang masalah mereka. Laila langsung menutup pintu kamar. "Berdirilah," suruhnya.
Alvian menggeleng. "Aku tidak akan berdiri sampai kamu memaafkanku."
Laila berusaha menahan diri. "Sebenarnya apa yang Mas inginkan? Apa tidak puas membuatku seperti orang bodoh?"
"Laila... Foto itu-" Alvian berhenti berbicara sejenak. Dia tidak ingin bicara saja tanpa bukti. Dia langsung mengambil tas dan menunjukkan bukti bahwa foto-foto yang diterima Laila adalah foto editan.
"Aku tau kamu marah dan kecewa, tapi tolong lihat ini dulu." Alvian memberikan kepada Laila.
"Apa ini?"
"AKu mohon, lihatlah dulu." Wajah Alvian memelas sehingga Laila tidak tega untuk menolaknya.
Laila melihat bukti-bukti itu. Sebenarnya Laila juga memiliki firasat bahwa foto itu hasil editan, namun dia sudah terlanjur kecewa dan pergi begitu saja.
"Aku dan Bella tidak punya hubungan apa-apa, tolong percaya padaku."
Laila hanya diam saja.
"Aku sudah mencari Bella supaya mau menjelaskan dan meminta maaf kepada kamu, tapi Bella menghilang. Aku tidak bisa menghubunginya," lanjut Alvian lagi.
Semua sudah jelas, hanya salah paham saja. Tapi kenapa Laila tidak mau dengan mudah memaafkan suaminya sendiri? Bahkan suaminya sampai datang ke sini sendiri. Pasti tidak akan mudah bagi seseorang yang terbiasa hidup dikota. Mana penampilannya juga berantakan begitu.
"Laila.... apa kamu sudah pulang?" suara dari luar membuat Laila buru-buru menarik tangan Alvian agar segera berdiri. Sentuhan itu membuat Alvian merasa berdebar-debar. Apa dia memang semudah ini tersentuh atau merasakan gejolak jiwa? Entahlah.
"Su-sudah, Bu." Laila menjawab dengan cepat.
"Syukurlah."
Laila tidak lagi mendengar suara ibunya. Tapi tangannya masih menyentuh tangan Alvian.
Laila buru-buru melepaskan tangannya dari genggaman Alvian, seolah tersadar akan apa yang baru saja ia lakukan. Pipinya terasa panas, dadanya masih naik turun akibat emosi yang bercampur aduk.
Alvian
merasakan kehilangan seketika saat sentuhan itu menghilang. Namun, ia
sadar bahwa saat ini bukan waktunya untuk terbawa perasaan. Yang
terpenting, ia harus membuat Laila percaya padanya.
BAB 34 Baikan
Laila tidak ingin terlalu menunjukkan jika dirinya dan Alvian memiliki masalah. Jadi sebisa mungkin Laila bertindak seperti tidak terjadi apa-apa. Kedatangan Alvian ke rumahnya bukanlah sesuatu yang buruk. Apalagi kedua orang tua Laila sangat menyambut menantunya itu. Alvian juga terlihat sedang mengambil hati kedua orang tua Laila.
Seperti malam ini, Alvian memuji masakan Ibu Laila. Bahkan Alvian yang tidak terlalu suka dengan sayuran malah semangat memakan sayuran buatan ibu Laila.
"Kamu kenapa tidak makan?" tanya Alvian karena Laila tidak kunjung menyentuh makanannya.
Tatapan Ayah dan Ibu Laila langsung mengarah ke Laila. "Apa kamu masih nggak nafsu makan, Nak?" tanya Ibu.
Alvian mengerutkan kening. Dia baru tahu jika beberapa hari ke belakang, Laila tidak nafsu makan sama sekali.
"Aku sudah kenyang, Bu." Laila tidak ingin siapapun khawatir.
"Kenyang apaan? Tadi siang kamu juga tidak makan."
Laila menunduk. Dia juga ingin makan, tapi melihat makanan saja dia nafsu.
"Kamu sakit?" tanya Alvian khawatir. Bahkan hal itu tidak terlihat dari nada bicaranya saja, namun tatapan matanya juga.
Laila buru-buru menggeleng. "Aku nggak sakit," jawabnya cepat.
"Tapi kamu pucat, Nak," sahut ayahnya.
Alvian menatap istrinya lekat-lekat. Laila memang terlihat lebih kurus dibanding terakhir kali ia melihatnya. Wajahnya juga lebih pucat, dengan kantung mata yang sedikit menghitam.
"Laila, kalau kamu nggak enak badan, jangan dipaksakan," ujar Alvian lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.
"Aku baik-baik aja kok. Ayah dan ibu tidak perlu khawatir," jawab Laila, meski dalam hati ia tahu itu bohong. Tubuhnya memang terasa lemas akhir-akhir ini, tapi ia tak ingin membuat orang lain khawatir.
Ibu Laila menghela napas. "Gimana kalau diperiksa saja dulu di puskesmas?"
"Tidak usah, Bu." Laila menolak karena menurutnya dia hanya kelelahan dan banyak pikiran saja.
Alvian tidak mengalihkan perhatiannya dari sang istri. Dia sangat khawatir sekali. Bahkan Alvian menyalahkan dirinya sendiri karena sudah membuat Laila tampak sakit seperti sekarang.
Setelah makan malam, Laila memutuskan untuk kembali ke kamar. Sedangkan Alvian mengobrol dengan ayah dan ibu mertuanya. Bahkan Alvian memberikan sedikit oleh-oleh yang dia bawa. Ayah dan Ibu mertuanya sangat antusias sekali. Mereka berterima kasih kepada Alvian. Padahal kalau mereka tahu Alvian sudah menyakiti anak kesayangannya, mungkin bukan tatapan ramah yang Alvian dapatkan melainkan tatapan tajam.
Pukul sepuluh malam, Alvian masuk ke dalam kamar. Dia melihat Laila yang sedang fokus menatap layar laptop. Alvian sedikit canggung. Dia juga bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Apalagi Laila belum memaafkannya.
Alvian menghela napas pelan, berdiri di dekat pintu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri melangkah masuk.
"Laila..." panggilnya hati-hati.
Laila tidak langsung menoleh. Jemarinya masih bergerak di atas keyboard, tapi Alvian bisa melihat sekilas bahwa pikirannya tidak sepenuhnya fokus.
Alvian mendekat, duduk di tepi ranjang, menjaga jarak agar Laila tidak merasa terganggu. "Kamu... beneran nggak enak badan?"
Laila menghentikan ketikannya, tapi masih tidak menoleh. "Aku baik-baik saja."
Jawaban itu terdengar datar, tapi Alvian bisa melihat dari ekspresinya bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
"Laila..."
Kali ini, Laila menutup laptopnya dan menoleh, menatap Alvian dengan mata yang berkabut emosi.
"Apa lagi?" ketus Laila.
Alvian sedikit terkejut. Biasanya Laila akan berkata lembut, tapi ketus begini juga cantik. Alvian malah menahan diri agar tidak tersenyum.
"K-Kamu sudah lama tinggal di sini?" tanya Alvian, mencoba mencairkan suasana, meski terdengar asal.
Laila mendesah panjang, jelas tak ingin meladeni. "Mas, aku lagi malas ngomong. Jadi, tolong, jangan tanya-tanya."
"Kok malas? Kan cuma ngomong." Alvian menyengir, berusaha tetap santai.
Laila meliriknya tajam. "Mas sadar nggak sih? Aku lagi marah sama Mas."
Alvian menahan tawa. "Iya, aku sadar kok."
"Kalau sadar, nggak usah ajak aku ngomong."
"Tapi aku mau ngomong sama kamu."
"Aku nggak mau!"
"Laila..."
Laila mendesah frustasi. "Apa?" tanyanya ketus.
Alvian menatapnya dalam, suara beratnya keluar begitu saja. "Aku rindu sama kamu."
Hening.
Laila membeku. Matanya melebar sedikit, dan jantungnya mulai berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.
Laila terdiam. Ia tidak ingin merespons, tapi hatinya tidak bisa berbohong. Kata-kata Alvian seolah memiliki magnet yang menarik perasaannya keluar dari tempat persembunyian.
Ia meneguk ludah, lalu mengalihkan pandangan ke arah laptopnya lagi, pura-pura fokus.
Alvian masih menatapnya. "Laila, aku serius."
Laila mengetik sembarangan di keyboard hanya untuk menyibukkan diri. "Aku nggak mau dengar."
Alvian menghela napas, lalu berjalan mendekat. "Kenapa?"
"Karena aku benci Mas!" suara Laila sedikit bergetar, tapi ia tetap berusaha terdengar tegas.
Alvian terkekeh. "Benci ya?"
"Iya." Laila tidak menatap Alvian sama sekali.
"Kalau gitu, aku pulang aja ya? Apalagi kamu nggak mau ketemu sama aku." Alvian menunggu respon sang istri.
Hening beberapa detik.
Alvian bangkit dari tepi ranjang. "Aku pulang aja ya?" ujarnya lagi. Dia ingin mengambil tas ransel miliknya. Tapi langkahnya langsung terhenti karena mendengar suara isak tangin. Alvian langsung membalikkan badan. Terkejut sekali melihat istrinya mengeluarkan air mata.
"Maaf, Laila. Maaf... Aku salah." Alvian panik luar biasa.
"Pergi aja sana!" ujar Laila dengan isak tangis.
Alvian bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan istrinya? Dia pergi atau dia tetap disini.
"Oke oke, aku pergi. Kamu jangan nangis lagi."
Bukannya tangis Laila berhenti, tangisnya malah semakin kencang. Kalau begini, Alvian bisa langsung di libas oleh ayah mertuanya.
Apa yang harus Alvian lakukan sekarang?
Alvian benar-benar panik. Ia menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, lalu kembali duduk di tepi ranjang dengan canggung.
"Laila, aku nggak ngerti. Kamu suruh aku pergi, tapi kamu malah nangis. Sebenarnya aku harus apa?" tanyanya dengan nada putus asa.
Laila hanya menunduk, bahunya naik turun karena tangisnya yang masih berlanjut.
Alvian menghela napas, lalu dengan hati-hati meraih tangan istrinya. Awalnya Laila hendak menepis, tapi Alvian menggenggamnya lebih erat.
"Kalau kamu mau aku pergi, aku bakal pergi. Tapi jujur dulu sama aku... apa benar kamu ingin aku pergi?"
Laila menggigit bibir bawahnya. Dia ingin berteriak 'iya', tapi lidahnya kelu.
Alvian menatapnya dalam-dalam. "Aku nggak akan maksa kamu buat langsung maafin aku, tapi aku butuh tahu... Aku masih punya kesempatan atau nggak?"
Laila terisak pelan. Hatinya berperang hebat.
Dengan suara bergetar, ia akhirnya berbisik, "Aku benci Mas... tapi aku juga benci kalau Mas pergi."
Alvian membeku sejenak, lalu perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya. Itu cukup. Itu lebih dari cukup baginya.
Dengan lembut, ia mengusap punggung tangan Laila. "Aku nggak akan pergi, Laila."
Laila menangis cukup lama, bahkan sampai dia tertidur. Alvian menyelimuti sang istri dengan pelan.
Memang tidak mudah untuk memaafkan dirinya, Alvian juga sadar apa yang dia lakukan selama ini sudah membuat Laila merasa sedih. Tapi Alvian tidak akan berhenti untuk mendapatkan hati Laila kembali.
Alvian tidur disamping Laila. Dia tersenyum menatap wajah Laila yang tampak damai. Berbagai macam pertanyaan muncul dalam diri Alvian.
Laila adalah orang yang penuh ambisius sejak kuliah. Jadi kenapa 9 tahun yang lalu dia tiba-tiba berhenti kuliah dan menghilang? Jika Laila tidak menghilang, pasti mereka sudah bersama sejak lama. Laila juga tidak akan mendapat perlakuan yang buruk dari dirinya.
"Apa yang sudah kamu alami, Laila?" tanyanya dengan suara pelan.
Semua seperti puzzle yang sangat rumit. Hubungan Laila, Bella dan Ethan adalah sesuatu yang sangat mencurigakan.
Apa yang sudah Ethan lakukan sampai Laila takut saat bertemu dengannya? Alvian ingin mencari tahu lebih dalam.
"Aku tidak akan membuat kamu menderita lagi, Laila. Aku janji," ungkapnya dengan tulus. Perlahan-lahan, mata Alvian juga ikut terpejam. Setelah akhir-akhir ini ia kesulitan tidur, kali ini lebih mudah. Mungkin karena ada Laila disamping dirinya.
***
Azan subuh berkumandang. Laila terbangun dengan merasakan sebuah benda berat di atas perutnya. Saat sadar sesuatu yang memberatkan perutnya itu, ia langsung memerah. Ternyata mudah sekali untuknya merasa berdebar-debar. Terlalu kekanak-kanakan.
Laila kira Alvian datang ke sini hanyalah mimpi belaka, tapi ternyata tidak. Dia masih ada dan sekarang sedang berbaring di sampingnya.
"Mas..." panggil Laila berusaha untuk menyingkirkan tangan sang suami.
Bukannya menyingkir, tangan Alvian semakin erat memeluknya. "Mas..." ujar Laila lagi. Kali ini dia berusaha untuk menyingkirkan
tangan Alvian dengan lebih kuat, tapi tetap saja pria itu tidak mau melepaskannya.
"Mas, azan subuh udah berkumandang. Lepasin, aku mau salat," desis Laila dengan wajah memerah.
Alvian yang masih setengah sadar hanya menggumam pelan. "Hmm... lima menit lagi."
"Nggak ada lima menit lagi. Lepasin atau aku gigit!" ancam Laila dengan suara tertahan.
Alvian akhirnya membuka matanya sedikit. Senyum menggoda terukir di wajahnya. "Kalau aku nggak lepas, kamu beneran mau gigit?" tanyanya, menatap istrinya dengan tatapan jahil.
Wajah Laila semakin panas. Tanpa pikir panjang, ia langsung mencubit lengan suaminya.
"Aww! Sakit, Laila!" Alvian akhirnya melepaskan pelukannya, mengusap lengan yang dicubit tadi dengan ekspresi kesal tapi masih disertai senyum di sudut bibirnya.
"Makanya jangan banyak tingkah!" Laila buru-buru bangkit dari ranjang, berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.
"Nak... bangun. Udah azan subuh," ujar suara dari luar kamar. Suara Ibu Laila dan suara itu langsung membuat Alvian terbangun.
"Ka-kami sudah bangun, Bu."
"Syukurlah. Ini ayah mau shalat ke masjid, apa Nak Alvian tidak ikut?"
Alvian sangat jarang untuk shalat. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
"I-iya, Bu. Aku siap-siap dulu." Alvian tidak mungkin menolak.
Laila yang masih sibuk berwudhu di kamar mandi menahan tawa kecil saat mendengar jawaban suaminya. Dia tahu betul Alvian jarang shalat, dan sekarang pria itu pasti sedang panik setengah mati.
Sementara itu, Alvian mengusap wajahnya, mencoba mengusir kantuk. Dia buru-buru bangkit dari tempat tidur. Ada sarung yang memang tadi siang diberikan oleh Ibu. Masalahnya, dia tidak terbiasa memakai sarung. Bagaimana cara mengikatnya supaya tidak melorot?
Laila keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Begitu melihat Alvian yang masih berusaha melilitkan sarung di pinggangnya dengan ekspresi frustasi, Laila mendengus pelan. "Mas mau ke masjid pakai sarung?" tanyanya dengan nada geli.
"Iya. Nggak mungkin aku pakai celana pendek." Alvian mendelik, masih berjuang dengan sarungnya yang hampir jatuh.
Laila menghela napas panjang. "Sini, aku bantu."
Tanpa menunggu jawaban, Laila berjongkok di depan Alvian, merapikan lipatan sarungnya, lalu mengikatnya dengan cekatan. Tangannya begitu lihai, seolah sudah sering melakukannya.
Alvian menatap istrinya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Perempuan yang dulu ia abaikan, sekarang dengan begitu mudahnya membantunya, bahkan dalam hal kecil seperti ini.
Saat Laila berdiri, Alvian masih menatapnya dalam diam.
"Kenapa?" tanya Laila bingung.
"Apa Allah nggak marah sama aku?" tanyanya dengan pelan. Alvian merasa malu sekali. Shalat hanya karena tidak mau dicap buruk oleh mertuanya. Padahal sebelumnya dia jarang shalat.
Laila tersenyum tipis. "Marah kenapa?"
"Aku kan jarang shalat, tiba-tiba karena takut dianggap buruk sama Ayah dan Ibu aku shalat. Mana ke masjid lagi."
"Nggak apa-apa kalau awalnya terpaksa, yang terpenting Mas mau untuk shalat. Allah juga maha pengasih dan penyayang kok. Jadi Allah nggak akan marah pada hambanya yang mau shalat."
"Aku malu."
"Nggak perlu malu. Berubah pelan-pelan ya."
Sejujurnya, Laila sangat terharu sekali jika suaminya mau shalat begini. Dia hanya perlu membimbing dan memberikan semangat agar shalat tersebut menjadi kebiasaan.
"Kenapa kamu nggak pernah nunjukin keburukanku pada Ibu dan ayah?" Alvian sangat penasaran.
Laila hanya tersenyum. "Nggak usah dibahas lagi. Mas buruan keluar, nanti ditinggal ayah."
Alvian mengangguk dengan semangat. Dia juga sempat mencium pucuk kepala Laila sebelum keluar dari kamar.
BAB 35 Alasan Kenapa Laila Menghilang 9 Tahun Yang Lalu
Alvian bersungguh-sungguh dalam memperbaiki hubungannya dengan Laila. Dia tidak hanya bicara saja tapi dibuktikan. Istrinya memang berhati lembut, Alvian tidak akan membantah hal itu karena memang begitulah kenyataannya. Biasanya perempuan akan sulit memaafkan setelah semua mendapat perlakuan yang tidak baik. Bahkan dia nyaris selingkuh. Meskipun begitu, Laila tidak benar-benar membenci kehadirannya.
Kadang Laila mau berbicara padanya, kadang juga tidak. Tapi bagi Alvian tidak masalah sama sekali. Melihat Laila saja sudah lebih dari cukup baginya.
Pagi ini, Alvian tidak bisa hanya berada di kamar. Dia akan membantu ayah mertuanya memanen sayuran. Meskipun dia belum pernah melakukannya, tapi Alvian akan belajar.
"Mas, seriusan mau ke kebun?" Laila bertanya dengan ragu.
Alvian sudah berdiri di depan pintu, mengenakan kemeja lengan panjang yang sedikit kebesaran dan celana kain yang tidak cocok untuk berkebun. Dia tersenyum santai. "Kenapa? Takut aku nggak kuat?"
Laila melipat tangan di depan dada. "Bukan. Aku takut Mas malah bikin repot Ayah."
Alvian terkekeh, lalu mendekati istrinya. "Aku mau belajar. Aku nggak mau cuma diam-diaman sama Ayah."
Laila terdiam.
"Lagian, aku juga pengen tahu gimana rasanya jadi petani. Kayaknya keren." Alvian menyeringai.
Laila mendengus. "Mas terlalu percaya diri."
"Aku nggak terlalu percaya diri, tapi aku percaya kamu bakal bangga kalau lihat suamimu kerja keras."
Laila memutar mata, lalu akhirnya menyerah. "Terserah."
Alvian tersenyum tipis. Dia bersiap untuk pergi ke kebun. Sedangkan Laila tetap berada di rumah. Dia merasa malas untuk kemana-mana dan hanya ingin berbaring di atas ranjang saja. Laila tidak peduli apapun yang dipikirkan Alvian tentang dirinya.
Alvian berusaha untuk seramah mungkin menyapa penduduk desa. Bahkan ayah mertuanya dengan bangga mengenalkan Alvian sebagai menantu anak sulungnya. Tentu saja Alvian tidak boleh mengecewakan ayah mertuanya.
"Apa ini sudah bisa dipanen yah?" tanya Alvian. Dia tidak bisa asal memanen saja.
"Sudah, Nak."
Ayah mertuanya mengawasi dengan bangga saat Alvian mulai belajar memanen. Tangannya masih kaku saat mencabut sayuran dari tanah, namun ada tekad di wajahnya.
Penduduk desa yang melihat menantu Pak Rahmat ikut bekerja di kebun pun mulai berbisik-bisik.
"Wah, menantu kota ternyata nggak manja, ya."
"Iya, padahal biasanya orang kota malas pegang tanah."
"Anaknya Pak Rahmat beruntung dapat suami yang mau kerja keras begini."
Alvian tidak terlalu peduli dengan bisikan itu. Baginya, ini bukan hanya tentang membantu di kebun, tapi tentang membuktikan diri kepada ayah mertuanya, kepada Laila, dan kepada dirinya sendiri.
"Tarik yang kuat, Nak. Jangan ragu-ragu." Ayah mertua memberi arahan.
Alvian mengangguk dan mencoba lagi. Kali ini, dengan lebih mantap, dia mencabut sayuran dari tanah. Tanahnya sedikit lembek, membuat tangannya sedikit kotor, tapi dia justru tersenyum puas. "Oh, begini ya rasanya."
Pak Rahmat tertawa.
Matahari sudah meninggi. Keringat Alvian sudah membasahi tubuhnya. Kulitnya langsung menyentuh sinar matahari karena Alvian tidak membawa sunscreen. Tapi tidak apa, nanti setelah kembali dia bisa perawatan.
Alvian dan Ayah mertuanya duduk untuk beristirahat sebentar. Alvian ingin menanyakan sesuatu, tapi dia bingung dimulai darimana.
"Kalau boleh tau, apa Ayah sudah lama tinggal di desa ini?" tanya Alvian memberanikan diri. Dia ingin mengetahui penyebab menghilangnya Laila 9 tahun yang lalu. Alvian tidak bisa bertanya langsung kepada Laila karena pasti tidak akan nyaman untuk Laila.
"Hm.. lumayan. Sudah 9 tahun kalau Ayah tidak salah ingat."
Berarti memang ditempat ini Laila dan keluarga pindah setelah menghilang dan berhenti kuliah.
"Sebelumnya ayah tinggal dimana?"
"Di daerah D."
Alvian mengangguk-anggukkan kepala. Berhubung keluarga Laila tinggal didaerah D, maka wajar jika Laila tinggal di asrama saat kuliah.
"Kenapa ayah memutuskan pindah ke sini?"
Keheningan terjadi. Tampaknya Ayah begitu ragu untuk menjawab.
"Apa yang sebenarnya ingin Nak Alvian ketahui?" tanya Ayah Laila langsung.
Alvian menggaruk leher yang tidak gatal. Merasa sudah salah bertanya, tapi dia tidak ingin berhenti. Selain Laila, hanya Ayah atau Ibu Laila yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Maaf, Ayah."
"Tidak perlu minta maaf. Tanyakan saja karena kamu berhak untuk itu." Ayah Laila tampaknya tidak mau menutupi apapun.
"Mungkin karena aku dan Laila menikah karena perjodohan, aku jadi tidak tahu mendalam tentang Laila."
Pak Rahmat mengerti. "Benar, kalian menikah terlalu terburu-buru. Maafkan kami menjadi orang tua yang egois." Ayah Laila tampaknya juga sedih.
Alvian menggeleng pelan. "Jangan minta maaf, Ayah. Aku tahu Ayah dan Kakek hanya menginginkan yang terbaik untuk kami."
Pak Rahmat menatapnya dengan lembut, tapi Alvian masih merasakan beban di dadanya.
"Walaupun... aku belum bisa menjadi suami yang baik untuk Laila," lanjutnya lirih. Ada rasa sesak di hatinya saat mengucapkan itu.
Pak Rahmat tersenyum tipis. "Menjadi suami yang baik itu proses, Nak. Sama seperti Laila yang juga masih belajar menjadi istri yang baik. Kalian berdua akan saling melengkapi."
Alvian mengangguk mantap. "Iya, Ayah. Aku akan belajar."
Keheningan menggantung di antara mereka. Alvian memainkan jari-jarinya, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Namun, ada sedikit keraguan di hatinya.
Setelah menarik napas, akhirnya dia bertanya, "Ayah... Apa Laila pernah kuliah di kampus X?"
"Ya, dia pernah kuliah di sana sebelum akhirnya dia berhenti."
"Kenapa Laila berhenti, Yah?"
Pak Rahmat menatap menantunya dengan ekspresi wajah yang sulit untuk dideskripsikan.
"Sebelum mengatakan padamu, Ayah minta maaf lebih dulu."
Alvian bertambah bingung. "Minta maaf untuk apa, Yah?"
"Maaf karena tidak mengatakan kondisi Laila sebelum kalian menikah, padahal kamu berhak tahu tentang masa lalu Laila."
"Tidak apa-apa, Yah. Setiap orang punya masa lalu dan aku tidak mempermasalahkan itu. Hanya saja Laila pernah mengalami gangguan panik."
Pupil mata Pak Rahmat langsung membesar. "Kapan?"
"Belum lama ini, makanya aku ingin tahu apa yang terjadi pada Laila sebenarnya."
Wajah Pak Rahmat langsung sedih. Dia merasa menjadi ayah yang gagal menjadi anaknya sendiri.
"Apa kamu tidak meninggalkan Laila setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi?"
Alvian tersenyum. "Ayah tenang saja. Aku tidak akan meninggalkan Laila."
Pak Rahmat menatap hamparan perkebunan. Angin membuat pepohonan bergoyang-goyang, tidak terkecuali rambut dan pakaian mereka.
"Laila pernah mengalami kejadian mengerikan."
Deg! Jantung Alvian berdetak dengan cepat. Dia berusaha untuk tetap tenang, meskipun darahnya menjadi mendidih.
Pak Rahmat menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Laila... pernah menjadi korban pemerkosaan."
Dunia seakan berhenti berputar bagi Alvian. Kata-kata itu menggema di kepalanya, menciptakan kekacauan di dalam dada. Jarinya mengepal tanpa sadar, rahangnya mengatup kuat.
"Siapa si brengsek itu, Yah?" suara Alvian bergetar, matanya mulai memanas.
Pak Rahmat tetap menatap ke depan, matanya kosong seakan kembali ke masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. "Ayah tidak tau. "
Alvian menggeretakkan giginya. Laila... perempuan yang selama ini ia sakiti dengan ketidak percayaannya, dengan sikap dinginnya, ternyata telah melalui neraka yang tidak pernah ia bayangkan.
"Saat itu, Ayah melaporkan kasus tersebut karena Laila tidak bisa dihubungi selama beberapa hari. Ayah yakin dia disekap oleh si brengsek itu."
Alvian merasakan napasnya tercekat. Dadanya terasa sesak seakan ada yang menghantamnya dengan keras. Laila... disekap?
"Lalu? Apa polisi berhasil menangkapnya?" suara Alvian penuh ketegangan.
Pak Rahmat menggeleng pelan, raut wajahnya dipenuhi kelelahan dan luka lama yang kembali menganga. "Tidak. Saat polisi berhasil melacak tempat itu, si brengsek sudah kabur. Laila ditemukan dalam kondisi lemah, ketakutan, dan penuh luka lebam. Dia tidak mau bicara apapun waktu itu."
"Sekuat apapun polisi meminta keterangan atau ayah dan ibu bertanya, Laila tidak mau mengatakannya. Dia hanya ketakutan," jelas Pak Rahmat lagi.
Alvian menggertakkan rahangnya, matanya mulai memanas. Dadanya bergemuruh menahan amarah yang begitu besar. Jika laki-laki itu ada di hadapannya sekarang, dia tidak tahu apa yang akan ia lakukan.
"Dan... setelah itu?" Alvian berusaha mempertahankan suaranya tetap stabil, meskipun hatinya hancur berkeping-keping membayangkan penderitaan yang dialami Laila.
Pak Rahmat menghela napas berat, seperti mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Setelah kejadian itu, Laila berubah. Dia lebih pendiam, sering mengurung diri di kamar, dan bahkan takut keluar rumah. Butuh waktu lama sampai dia berani kembali menjalani hidupnya. Laila meminta pergi ke tempat dimana tidak ada yang mengenalnya, makanya ayah dan ibu pindah ke sini. Selama 9 tahun, Laila berhasil melawan traumanya dan hidup normal kembali. Hal ini juga yang menyebabkan Laila membenci wajahnya dan menutupinya."
Jujur saja, hati Alvian merasa sangat sakit sekali. Dia ingin membunuh laki-laki yang sudah melakukan tindakan menjijikan itu.
Perempuan yang baik itu harus kehilangan mimpinya, perempuan yang baik itu harus hidup dalam penuh ketakutan setiap detiknya.
Air mata Alvian tidak sadar keluar, tapi dia langsung mengusapnya agar tidak terlihat oleh ayah mertuanya.
"Alvian..."
"Iya, Yah."
"Ayah mohon... Tolong jangan sakiti Laila, dia anak yang baik. Jika kamu tidak menginginkannya, tolong antarkan dengan baik kesini," pinta Pak Rahmat dengan mata memerah.
"Maafkan aku, ayah. Tapi aku tidak akan menyakiti Laila lagi. Aku akan menjaganya. Ayah tidak perlu khawatir."
Setelah berbincang dengan ayah mertua, Alvian memutuskan untuk pulang. Ayah mertuanya masih punya urusan lain sehingga tidak pulang bersama.
Sesampainya Alvian dirumah, dia langsung mencari keberadaan Laila. Di dalam kamar, Laila sedang duduk sambil menatap layar laptop. Tampaknya dia sedang bekerja.
Dada Alvian semakin terasa sesak, hatinya sakit sekali. Perempuan di depannya itu... Alvian tidak sanggup hanya untuk sekedar memikirkan hal terburuk yang dialami istrinya itu.
Alvian mendekat dan langsung memeluk Laila. Tentu Laila terkejut luar biasa.
"Mas?!" suara Laila terdengar panik, tubuhnya menegang dalam dekapan Alvian.
Tapi Alvian tidak peduli. Dia semakin mengeratkan pelukannya, seolah takut kehilangan Laila untuk kedua kalinya. "Maaf, Laila..." suaranya bergetar, penuh kesedihan dan penyesalan yang mendalam. "Maaf karena aku tidak pernah tahu... maaf karena aku sudah menyakitimu... maaf atas semua kebodohanku selama ini..."
Laila diam. Dia bisa merasakan tubuh Alvian yang sedikit gemetar, bisa merasakan bagaimana lelaki itu benar-benar tulus dengan permintaan maafnya.
"Mas kenapa?" tanya Laila pelan, meskipun suaranya tidak sekuat biasanya.
Alvian mengubur wajahnya di bahu Laila, matanya memanas, dadanya nyaris meledak menahan emosi yang membuncah. "Maaf, Laila..." bisiknya dengan air mata yang tidak bisa ditahan lagi. Merasakan air mata Alvian menyentuh kulit bahunya, Laila benar-benar terkejut karena untuk pertama kalinya ia melihat Alvian menangis begini.
"Kamu kenapa, Mas?" tanya Laila karena benar-benar tidak mengerti. Suaminya menjadi orang yang berbeda.
"Maafkan aku..maafkan aku, Laila. Tolong maafkan aku...."
"Jangan
tinggalkan aku lagi... Aku mohon, Laila..."ujarnya lagi. Pelukan Alvian
semakin erat. Dia benar-benar tidak ingin ditinggal lagi.
BAB 36 Kembali Ke Rumah
Alvian tidak bisa berlama-lama di rumah mertuanya karena banyak pekerjaan yang sudah menunggu. Apalagi dia ingin mencari laki-laki sampah yang sudah menghancurkan istrinya 9 tahun yang lalu. Tentu saja satu orang yang dipikirkan oleh Alvian yaitu Ethan. Apalagi Laila sangat takut saat bertemu dengan Ethan. Bisa saja Ethan adalah pelakunya atau Ethan punya hubungan dengan pelaku. Pokoknya Alvian sudah mendapat petunjuk yaitu dengan mencari tahu apapun tentang Ethan. Lihat saja jika memang Ethan adalah orangnya. Alvian tidak akan diam. Dia akan membuat hidup Ethan berada di jurang kegelapan.
"Kamu masih mau disini?" tanya Alvian dengan lembut. Sebenarnya kalau istrinya masih mau didesa ini dia tidak masalah. Tapi entah kenapa Laila mau ikut kembali ke rumah mereka.
"Kenapa?" Bukannya menjawab, Laila malah balik bertanya.
"Kalau mau disini, nggak apa-apa kok. Nanti aku jemput kalau kerjaan nggak terlalu banyak lagi."
Laila menggeleng. Jika dia tidak ikut pulang dengan Alvian, kedua orang tuanya pasti akan mencerahami Laila. Bagaimanapun Laila sudah menjadi seorang istri yang harus ikut dengan suaminya.
"Kamu yakin?"
"Hm."
Meski Laila belum sepenuhnya mencair seperti sebelumnya, tapi sekarang Laila tidak lagi menolaknya jika dia ingin memeluk atau sekedar menggenggam tangannya. Alvian sudah merasa cukup.
"Syukurlah."
Alvian dan Laila akan menaiki travel. Barang-barang yang dibawa adalah satu koper, satu ransel dan dua kardus. Isi kardus adalah hasil perkebunan milik ayah Laila. Keduanya berpamitan dengan penuh haru. Alvian seperti orang jahat yang menghancurkan keluarga harmonis dengan membawa anaknya pergi.
"Kamu disudut aja," ujar Alvian. Dia tidak mau sang istri malah bersentuhan dengan yang lain. Laila hanya mengangguk. Dia duduk di ujung, sedangkan Alvian disampingnya. Perjalanan yang mereka tempuh adalah 6 jam.
Selama perjalanan Laila tidak merepotkan sama sekali, malahan Alvian yang merepotkan. Dia tiba-tiba saja mau muntah, padahal sebelumnya tidak pernah mabuk perjalanan. Plastik hitam harus ada ditangannya untuk berjaga-jaga jika ingin muntah.
Laila tidak untuk tidak menunjukkan kekhawatiran. Dia bahkan mengusap keringat Alvian yang mengalir di leher dan dahinya. "Masih mual?" tanyanya.
Tubuh Alvian sudah tidak bertenaga lagi. Seluruh yang ia makan keluar sehingga energinya berkurang. "Sedikit," jawab Alvian dengan suara pelan.
"Mas disini dulu, aku beli minum bentar."
Alvian menahan tangan Laila. Dia lantas menggeleng. Walaupun istrinya hanya membeli minum, Alvian sangat khawatir sekali. Apalagi beberapa orang menatap istrinya dengan tatapan aneh. Mereka pasti menganggap istrinya yang tidak-tidak karena memakai cadar. Padahal menutupi wajah adalah hak setiap manusia. Istrinya hanya melindungi diri karena wajahnya memang sangat cantik.
"Sebentar doang," ujar Laila lagi.
"Nggak usah. Disini aja." Alvian tidak melepaskan tangan sang istri. Padahal minuman mereka tinggal sedikit lagi.
"Tapi-"
"Nanti di dalam pesawat ada minuman," potongnya.
Laila tidak bisa berkomentar. Hanya menunggu tiga puluh menit, mereka berdua masuk ke dalam pesawat. Laila sangat terkejut, mereka masuk melalui gate yang berbeda dibanding penumpang lain. Ternyata Alvian memesan kelas bisnis. Bagi Laila memesan kelas bisnis hanya buang-buang waktu saja, namun bagi Alvian tidak. Dia mengutamakan kenyamanan sang istri. Kalau diri sendiri, Alvian akan memesan tiket kelas ekonomi.
"Mas udah kebanyakan uang ya?" sindir Laila setelah duduk di kelas bisnis.
Alvian hanya tersenyum dengan mata terpejam. "Sesekali tidak apa-apa," balasnya.
"Ya udah, mas istirahat dulu." Laila menutupi tubuh suaminya dengan selimut yang tadi dia minta pada pramugari. Tubuh suaminya sedang tidak sehat sehingga Laila menyingkirkan keegoisan serta kekerasan kepalanya.
"Kamu juga," lirih Alvian.
"Hm." Laila mengusap pucuk kepala sang suami dengan lembut. Wajah Alvian terlihat pucat sekali. Sebelum naik pesawat, suaminya sudah minum obat mual dan sakit kepala.
Selama penerbangan, Laila tidak tidur sama sekali. Dia menghabiskan waktu dengan membaca Al-qur'an. Tapi tangannya tidak lepas dari genggaman Alvian. Tampak sekali bahwa Alvian takut kalau Laila kemana-mana. Meskipun begitu, Laila tidak keberatan sama sekali.
***
Baru mendarat, ternyata kakek Liam sudah menunggu Laila dan Alvian di pintu keluar. Tentu saja Laila sangat terkejut. Kakek menatap cucunya dengan bangga karena berhasil membawa Laila kembali. Tentu saja, kakek Liam tidak ingin rumah tangga cucunya berakhir. Apalagi melihat Alvian yang sampai sakit saat ditinggal oleh Laila. Kakek Liam yakin, bahwa Alvian bisa mencintai Laila karena Laila memang layak mendapatkan itu.
"Ya ampun, Kak. Seharusnya tidak perlu ke sini." Laila merasa tidak enak hati.
Kakek menggeleng. "Terima kasih sudah mau kembali, Nak dan maafkan cucu kakek ini."
Laila tersenyum meski dibalik cadar. Namun dari matanya terlihat sekali jika Laila sedang tersenyum. Dia memeluk kakek dengan untuk melepaskan kerinduan. Kakek sangat menyayangi Laila seperti cucunya sendiri.
"Menginap dirumah kakek saja," usul kakek. Mata Alvian langsung melotot. "Jangan!" tolaknya langsung.
"Kenapa?" Kakek menatap cucunya dengan tajam.
"Ya jangan. Kami punya rumah sendiri." Jelas-jelas Alvian ingin berduaan dengan Laila, masa harus menginap di rumah kakeknya segala. Jelas saja Alvian menolak.
Kakek membuang muka. "Sudah tua begini, tapi cucu nggak mau sayang."
Alvian rasanya ingin muntah. Biasanya juga dia tidak pernah disuruh menginap, malah disuruh jauh-jauh. Mungkin karena Laila makanya kakek begitu.
Laila tertawa kecil. "Kapan-kapan saja, Kek. Mas Alvian juga tidak enak badan," ucap Laila.
"Tidak enak badan gimana? Dia kelihatan baik-baik aja kok. Jangan tertipu sama tipu muslihatnya, Nak."
Alvian mencoba untuk bersabar. "Terserah kakek bilang apa. Pokoknya aku nggak mau nginap."
"Ya udah kalau kamu nggak mau. Laila sendiri saja."
"Enggak! Pokoknya enggak." Alvian menolak dengan keras.
Setelah perdebatan kecil, pada akhirnya Alvian dan Laila pulang ke rumah mereka sendiri. Kakek hanya menggoda Alvian saja. Melihat Alvian kesal adalah kesenangan tersendiri untuknya.
Sesampainya di rumah, Alvian tidak mau sedikit pun berpisah dari Laila. Begitu mereka masuk ke dalam, dia langsung mengikuti kemanapun istrinya pergi.
"Mas, kamu kenapa sih?" Laila mendelik ketika menyadari Alvian masih berdiri di belakangnya saat ia meletakkan tas di meja.
"Nggak kenapa-kenapa." Alvian menyengir, lalu mengulurkan tangan dan meraih pinggang Laila, memeluknya dari belakang. "Aku cuma kangen aja."
Laila berusaha melepaskan diri. "Mas, kita baru aja pulang. Kamu kan barusan sama aku terus."
"Ya kan kalau di rumah beda. Di sini kita cuma berdua." Alvian semakin manja, dagunya bertumpu di bahu Laila.
Laila menghela napas panjang. "Mas, aku mau ke dapur."
"Aku ikut."
Laila mengernyit. "Ngapain ikut? Aku cuma mau minum."
"Siapa tahu kamu butuh bantuan ambil gelas." Alvian nyengir jahil.
Laila mendecak. "Ambil gelas doang nggak butuh bantuan."
Tapi tetap saja, Alvian mengikuti Laila ke dapur. Dia bersandar di meja dapur sambil menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih.
Saat Laila menuangkan air ke dalam gelas, tiba-tiba tangan Alvian melingkar di pinggangnya lagi. "Aku juga haus, tapi hausnya bukan haus minum."
Laila melotot. "Haus apaan?"
"Haus diperhatiin istri." Alvian merengek pelan, kepalanya menyender di bahu Laila seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal.
Laila hanya bisa menghela napas lagi. "Mas, kamu manja banget sih."
"Suka nggak?"
"Nggak."
Alvian mengerucutkan bibirnya. "Jahat. Aku kan cuma pengen deket-deket kamu."
Laila menatapnya. "Mas, kalau kamu mau ngelakuin sesuatu, lakukan yang berguna, misalnya istirahat."
Alvian menggeleng. "Aku sudah sembuh."
"Sembuh apaan? Wajah kamu masih pucat Mas." Laila tidak tahu lagi harus berkata apa.
"Pucat gimana? Aku nggak pucat kok."
"Kalau begitu mandi dulu," suruh Laila. Pasti tubuh suaminya sangat tidak nyaman karena tadi dibasahi keringat.
Alvian menggeleng. Dia masih ingin dekat-dekat dengan Laila.
"Terus kalau nggak mau mandi, Mas maunya apa?"
"Mau begini aja." Alvian menyengir.
"Nggak bisa. Kamu harus mandi, setelah itu istirahat." Laila menatap suaminya dengan tatapan tajam. Alvian jadi tidak bisa membantah lagi.
"Kamu mau kemana?" tanya Alvian saat Laila ingin masuk ke dalam kamarnya.
"Ke kamar, aku juga mau mandi."
"Aku nggak mau kita pisah kamar lagi!"
"Ha?" Laila terkejut. Perubahan suaminya sangat luar biasa.
"Kita kan suami istri," jelasnya sambil menundukkan kepala.
Laila mengerjap, masih sulit mempercayai perubahan sikap Alvian yang tiba-tiba manja luar biasa.
"Bukannya kamu yang minta pisah kamar?" tanya Laila.
Kata-kata itu langsung menyerang Alvian sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Memang dia yang meminta pisah kamar, namun sekarang tidak lagi.
"Memang benar, aku tau aku bodoh kok. Oleh karena itu aku minta maaf." Alvian mengangkat wajahnya. Terlihat sekali ekspresi sedih terlampir disana.
Laila terdiam, menatap suaminya yang kini tampak seperti anak kecil yang takut ditinggal.
"Aku janji, aku nggak akan minta pisah kamar lagi," lanjut Alvian, suaranya pelan tapi penuh kesungguhan.
"Kita satu kamar, ya?" Alvian membujuk dengan suara manja, sambil menggoyang-goyangkan tangan Laila seperti anak kecil yang meminta permen.
Laila menatapnya dengan ekspresi pasrah. Jika dia menolak, bukankah itu berarti dia terlalu keras kepala? Lagipula, ini hanya permintaan sederhana dari suaminya.
"Hm," jawabnya akhirnya, meski dengan sedikit enggan.
Dalam hitungan detik, wajah Alvian berubah cerah. Senyum lebarnya merekah penuh kebahagiaan.
Tanpa aba-aba, Alvian langsung mengangkat tubuh Laila dalam gendongannya dan memutar tubuh mereka berdua.
"Mas! Turunin! Aku pusing!" seru Laila panik, tangannya mencengkeram bahu suaminya erat.
Tapi bukannya menurunkan, Alvian justru tertawa riang.
BAB 37 Ingin Membunuhnya
Alvian tidak akan membatasi Laila keluar walaupun dia sangat khawatir. Apalagi pelaku yang sudah merusak Laila belum ditangkap sama sekali. Alvian hanya bisa berspekulasi. Dia belum mendapatkan bukti yang kuat. Apalagi sosok yang dicurigainya bukan orang sembarangan. Jadi untuk berjaga-jaga, Alvian menyewa 4 bodyguard untuk melindungi Laila. Satu perempuan dan tiga laki-laki. Supaya Laila merasa nyaman, 3 bodyguard laki-laki akan melindungi dari jarak tertentu. Setidaknya Alvian akan selalu mendapat laporan.
Awalnya Laila menolak, tapi Alvian memiliki alasan yang kuat. Dia mengatakan bahwa banyak musuh perusahaan yang begitu mengincarnya. Makanya Laila tidak bisa tanpa pengawal. Akhirnya Laila mengerti karena tidak ingin membuat suaminya mengikuti dirinya kemana-mana padahal sedang sibuk.
Hubungan Alvian dan Laila pun lebih baik dari sebelumnya. Mungkin karena Laila menerima segala usaha Alvian untuk memperbaiki hubungan mereka.
Laila menatap kalender yang ada di atas meja. Kenapa dia belum datang bulan? Sejak trauma yang Laila alami, dia memang sering terlambat datang bulan. Kadang pernah sekali selama 2 bulan dia tidak datang bulan sama sekali. Tapi tidak ada masalah besar pada tubuhnya ketika diperiksa.
Laila kembali menghitung hari. Dia sudah terlambat sekali untuk datang bulan. Apa yang terjadi? Apa dia memiliki penyakit? Apalagi tubuh Laila tidak bersemangat seperti biasanya.
Apa Laila harus membicarakan hal ini dengan suaminya? Laila langsung geleng-geleng kepala. Dia tidak bisa melakukan itu. Suaminya sudah cukup sibuk akhir-akhir ini. Laila akan memeriksa diri sendiri. Jika memang dia memiliki penyakit berbahaya, maka dia akan langsung menjalani pengobatan.
Laila memilih untuk berbaring di atas ranjang. Dia akan mencari rumah sakit yang bagus untuk pemeriksaan. Sembari mencari rumah sakit, pesan dari suaminya masuk. Laila tersenyum karena Alvian memang sering mengirim pesan. Seperti orang yang tidak sibuk saja.
[Alvian : Istri cantiku sedang apa?]
Disebut istri cantik tentu saja membuat Laila berbunga-bunga. Alvian menjadi sosok yang tidak pernah terbayangkan oleh dirinya. Nada bicara yang lembut, tatapan mata yang begitu dalam serta sikap yang baik. Laila berharap suaminya tidak akan berubah sampai kapanpun.
Laila buru-buru membalas pesan.
[Laila : Selesai mandi dan sedang berbaring di ranjang]
[Alvian: Wah, pasti wangi banget, ya? Aku jadi pengen pulang cepat nih 🤭]
Laila menggeleng sambil tersenyum. Suaminya benar-benar berubah, sekarang jadi lebih manja dan perhatian.
[Laila: Kerja yang benar, jangan banyak alasan buat pulang cepat 😏]
[Alvian: Tapi aku kangen! 😩]
Laila tertawa kecil. Entah kenapa, perasaan hangat mengalir di dadanya setiap kali membaca pesan Alvian.
[Laila: Baru juga pergi beberapa jam 😅]
[Alvian: Tapi rasanya kayak bertahun-tahun. Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu, tahu?]
Laila menggigit bibirnya, berusaha menahan senyum yang semakin lebar. Suaminya benar-benar ahli dalam membuat hatinya meleleh sekarang.
[Laila: Duh, rayuannya mulai lagi 😳]
[Alvian: Habisnya aku jujur. Eh, kamu lagi tiduran? Aku boleh nelpon nggak? Aku pengin dengar suara kamu 😚]
Laila menghela napas panjang, pura-pura kesal, padahal dalam hati sudah berdebar.
[Laila: Dasar nggak bisa jauh-jauh! kerja dulu. 😌]
[Alvian : Iya iya istriku hehe]
Alvian tertawa kecil setelah membalas pesan sang istri. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Laila saat menyuruhnya untuk fokus bekerja. Sangat menggemaskan sekali dan keinginan Alvian untuk segera pulang semakin menjadi-jadi.
Ketukan pintu membuat tawa Alvian langsung hilang. "Masuk," ujarnya.
Pintu terbuka, Ryan langsung masuk ke dalam ruangan Alvian. "Bagaimana?" tanya Alvian langsung tanpa basa basi.
"Saya sudah konfirmasi jika malam ini Bapak akan datang. Tapi..." Ryan ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Tenang saja, saya tidak akan menempatkan perusahaan di posisi yang tidak menguntungkan," ujar Alvian.
"Maaf, Pak." Ryan menunduk dalam. Dia tidak mau sang atasan terlalu terbuka dalam mendukung calon presiden. Apalagi politik negeri itu terlalu menakutkan.
"Tidak apa-apa, saya mengerti kalau kamu khawatir. Saya hanya akan datang sebagai tamu undangan saja."
"Baik, Pak." Ryan pamit untuk keluar.
Alvian menerima undangan dari Pak Hardi bukan tanpa alasan. Dia ingin bertemu dengan Ethan. Lihat saja, apa yang akan Alvian lakukan.
Alvian sudah menyuruh orang memata-matai Ethan. Ia mengetukkan jemarinya di atas meja, matanya tajam menatap layar laptop yang menampilkan berbagai laporan tentang Ethan. Informasi yang ia dapatkan masih terlalu sedikit. Seakan-akan pria itu adalah bayangan yang tidak bisa disentuh.. Tampaknya keluarga Ethan tidak ingin satu masalah merusak citra Pak Hardi yang tahun ini mencalonkan diri sebagai presiden.
"Hmph, licik juga," gumamnya sambil menyandarkan punggung.
***
Alvian sudah bersiap ke acara yang dibuat oleh Pak Hardi dan tim suksesnya. Mereka mengundang berbagai macam kalangan. Bahkan kakeknya juga diundang, namun kakeknya tidak akan datang. Alvian belum mengatakan kepada kakeknya tentang kehadirannya kali ini. Mungkin kakeknya akan marah atau menganggap Alvian tidak bisa membaca situasi. Tapi tujuan Alvian bukan untuk mendukung Pak Hardi melainkan untuk bertemu dengan Ethan.
"Jangan menciptakan keributan, di sana pasti banyak media." Dylan mengingatkan.
Alvian terkekeh. "Iya iya. Lo tenang aja."
Dylan menepuk pundak Alvian, bermaksud ingin memberikan dukungan. Pasti sulit bagi Alvian untuk mengendalikan diri ketika bertemu dengan orang yang diduga sebagai pelaku pemerkosaan dan penyekapan istrinya 9 tahun yang lalu. Siapapun orang pasti akan marah dan mengutuk perbuatan hina tersebut.
Alvian tidak pergi sendiri. Dia pergi bersama Ryan. Dylan tidak mau pergi karena dia tidak suka berada ditempat yang ramai. Apalagi nanti mereka harus berakting seakan-akan mendukung Pak Hardi dan koalisinya.
Alvian dan Ryan berangkat. Sepanjang jalan, Alvian menatap foto istrinya. Dia tersenyum sejenak dan berharap malam ini berjalan dengan lancar.
Sesampainya di sebuah gedung besar, Alvian keluar dari mobil. Dia sudah dikonfirmasi datang sehingga langsung masuk setelah dilakukan pemeriksaan sebentar. Alvian mengancingkan jasnya dan melangkah dengan elegan. Banyak sekali para pengusaha dan toko-toko penting yang datang. Bahkan ada juga publik figur.
Alvian tersenyum ramah saat menyapa orang-orang saat mata tidak sengaja bertemu. Sampai pada akhirnya dia menemukan sosok Ethan. Darah Alvian langsung mendidih. Keinginan untuk memukul Ethan tidak bisa terbendungi. Alvian mengepalkan tangan, urat-urat lehernya terlihat jelas. Rahangnya menegang, tapi dia tidak boleh gegabah. Ini bukan tempat yang tepat untuk melampiaskan amarahnya.
Ryan yang berdiri di sampingnya langsung menyadari perubahan sikap Alvian. "Tahan, Pak. Kita kesini bukan untuk membuat keributan," bisiknya.
Alvian menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia melangkah lebih dekat, matanya tetap terkunci pada sosok Ethan yang tengah berbincang dengan beberapa pengusaha. Pria itu terlihat santai, seolah-olah tidak pernah melakukan kejahatan apa pun di masa lalunya.
Ethan menoleh sekilas dan tatapannya bertemu dengan Alvian. Sekejap, ada keterkejutan di wajahnya, tapi dengan cepat dia menutupinya dengan senyuman palsu.
"Selamat malam, Pak Alvian," sapa Ethan ramah. Dia mengulurkan tangan.
"Selamat malam juga, Pak Ethan." Alvian tidak kalah ramah. Dia menyambut uluran tangan itu meski darahnya sangat mendidih sekali.
"Anda terlihat sangat baik malam ini," ujar Ethan.
"Tentu saja, seperti yang Bapak lihat." Alvian tersenyum dengan lebar. "Saya sangat baik," lanjutnya lagi.
Senyum Ethan sedikit berubah. Tidak selebar sebelumnya. Ethan mengamati Alvian dengan tatapan penuh arti, lalu menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku jasnya.
"Apa Anda datang sendiri, Pak?"
"Tidak, saya datang bersama sekretaris saya."
Ethan mengangguk-anggukan kepala. "Saya kira Anda datang bersama istrinya Anda, Pak," ujarnya.
"Istri saya tidak suka berada ditempat ramai makanya saya tidak membawanya."
"Wah... Tampaknya Pak Alvian sangat mencintai istri Anda, Pak."
Alvian tersenyum lebar. "Tentu saja. Saya sangat mencintai istri saya. Istri saya sangat luar biasa sehingga saya tidak ingin menunjukkan kepada siapapun. Istri saya hanya milik saya." Alvian sengaja menekankan pada kata milik saya. Dia memperhatikan perubahan pada diri Ethan. Tampaknya dia menjadi terganggu dengan perkataan Alvian.
Ethan tersenyum, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berubah. Tatapan itu tidak lagi sekadar ramah, ada sedikit ketegangan di sana.
"Menarik," gumamnya. "Begitu protektifnya Anda terhadap istri sendiri, Pak Alvian."
Alvian tetap mempertahankan senyumnya. "Tentu saja. Saya tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya karena saya akan melakukan apapun untuk istri saya."
"Anda sangat luar biasa, Pak Alvian. Saya kira Anda seperti laki-laki lain yang tetap bertemu dengan perempuan lain padahal sudah menikah."
Alvian mengepalkan tangan. Tampanya Ethan tengah menyindir dirinya secara terang-terangan. "Maaf, Pak. Saya tidak mungkin melakukan itu. Apalagi istri saya sangat percaya kepada saya."
"Oh ya?"
"Tentu saja, Pak."
Ethan tersenyum tipis, matanya mengamati Alvian dengan penuh arti. "Kepercayaan istri Anda pasti sangat besar, ya? Itu bagus. Tapi, bukankah kepercayaan bisa saja goyah?"
Alvian tetap tersenyum, meski rahangnya mulai mengeras. "Kepercayaan itu bukan sesuatu yang bisa dihancurkan dengan mudah, Pak Ethan. Apalagi kalau sudah dibangun dengan kesungguhan."
Ethan terkekeh pelan. "Menarik sekali mendengar hal itu dari seorang pria. Tapi bagaimana kalau masa lalu kembali menghantui? Kadang ada hal-hal yang tidak bisa dihapus begitu saja, bukan?"
Darah Alvian berdesir. Kalimat Ethan terdengar seperti ancaman terselubung. Tangannya mengepal semakin erat, tapi dia tetap menjaga ekspresi santainya.
"Semua orang punya masa lalu, Pak Ethan. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapinya. Dan saya pastikan, masa lalu tidak akan menggoyahkan rumah tangga saya."
Ethan mengangguk pelan, lalu menyesap minumannya dengan santai. "Hebat sekali keyakinan Anda, Pak Alvian. Saya jadi semakin penasaran dengan istri Anda."
Tatapan Alvian menggelap seketika, tapi sebelum dia sempat membalas, suara seseorang kembali menyela.
"Pak Ethan, Pak Hardi menunggu Anda," ujar seorang pria yang tampaknya asisten pribadi Ethan.
Ethan meletakkan gelasnya di meja terdekat lalu tersenyum. "Baiklah, saya harus pergi. Tapi kita pasti akan bertemu lagi, Pak Alvian."
Saat Ethan melangkah, Alvian memanggilnya. "Pak Ethan..."
Ethan membalikkan badan. "Iya, Pa. Ada apa?"
"Jangan menginginkan milik orang lain," ujar Alvian dengan santai.
Pupil mata Ethan langsung melebar. "Apa maksud Anda, Pak?"
Alvian tertawa. "Tidak tidak, Pak. Saya hanya bercanda saja."
"Oh begitu..." Ethan kembali melanjutkan langkahnya. Tapi siapa sangka ekspresi wajahnya langsung berubah. Begitupun dengan Alvian. Dia bergegas keluar dari dalam gedung. Dasi yang melekat di kerah lehernya langsung berantakan karena ditarik dengan kuat oleh tangan Alvian sendiri.
Ryan yang melihat itu langsung mengejarnya.
Langkah Alvian begitu cepat, penuh amarah yang mendidih di dadanya. Setiap kata Ethan tadi menggema di kepalanya, membuatnya semakin geram.
Begitu sampai di tempat parkir, tanpa berpikir panjang, Alvian mengayunkan kepalan tangannya ke kaca mobilnya sendiri.
BRAK!
Bunyi kaca retak menggema di udara. Beberapa orang yang berada di sekitar tempat parkir menoleh kaget, tapi Alvian tidak peduli. Tangannya terasa perih, darah mulai mengalir dari buku-buku jarinya, tapi itu masih tidak cukup untuk meredam emosinya.
"Pak Alvian!" Ryan akhirnya berhasil sampai di sisinya, terengah-engah. "Apa yang Bapak lakukan?! Tangan Bapak terluka!"
Alvian menatap kaca yang kini penuh retakan. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. "Brengsek! Aku seharusnya menghajarnya saat itu juga! Aku ingin membunuhnya!"
Ryan menelan ludah. Dia tahu pasti siapa yang dimaksud Alvian. "Tapi Bapak nggak bisa gegabah. Kita nggak punya bukti. Kalau Bapak menyerangnya tanpa alasan yang jelas, justru Bapak yang akan kena masalah!"
Alvian
menyandarkan punggungnya ke mobil, berusaha mengatur napasnya. Tapi
bayangan wajah Ethan dengan senyum liciknya terus menghantui pikirannya.
BAB 38 Sebuah Obsesi Mengerikan
Ethan masuk ke dalam apartemennya dengan langkah berat, dia baru bisa kembali dini hari. Alvian membanting pintu di belakangnya. Nafasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya mencengkram rambutnya sendiri, kepalanya berdenyut sakit.
"Laila..." bisiknya dengan suara bergetar, penuh obsesi.
Dia berjalan tergesa-gesa menuju dinding yang dipenuhi foto-foto seorang wanita yaitu Laila. Berbagai ekspresi wajahnya terpampang di sana, dari senyum tipis hingga tatapan kosongnya saat sedang melamun. Beberapa foto bahkan diambil diam-diam, jelas bukan milik Laila sendiri.
Ethan menggeram, menatap tajam ke arah salah satu foto yang diambil saat Laila masih kuliah. "Kamu milikku, Laila... Kamu bukan untuk orang lain!"
Dia meraih satu bingkai foto besar dan menatapnya penuh gairah. Jemarinya menyusuri wajah Laila di dalam foto, seolah bisa benar-benar menyentuh kulitnya. Tapi saat bayangan Alvian melintas di benaknya, dia meradang.
BRAK!
Ethan melempar bingkai itu ke lantai hingga kacanya pecah. Matanya memerah, napasnya semakin berat. "Laki-laki itu... dia sudah merusak segalanya!"
Tangannya gemetar saat meraih ponselnya. Dia membuka galeri yang penuh dengan foto-foto Laila, lalu mendekatkannya ke wajahnya sendiri. "Laila... kamu pasti tahu perasaan ini, kan? Aku tahu kamu masih mengingatku. Kamu tidak bahagia dengannya, bukan?"
Di dalam pikirannya yang kacau, Ethan benar-benar yakin bahwa Laila sebenarnya mencintainya. Dia percaya bahwa Laila hanya terpaksa bersama Alvian. Baginya, Laila adalah takdirnya, wanita yang seharusnya menjadi miliknya seutuhnya.
Erotomania yang menguasai pikirannya membuatnya terus berkhayal. Dalam benaknya, Laila sering mengirim sinyal tersembunyi, pesan rahasia yang hanya bisa dia mengerti.
"Kamu memanggilku, Laila... Aku bisa merasakannya."
Dia tertawa kecil, lalu mengelus layar ponselnya. "Tenang saja, sayang. Aku akan membawamu kembali. Kamu hanya milikku... Kamu hanya untukku."
Tiba-tiba, Ethan berhenti. Pandangannya kosong, lalu senyum tipis terukir di wajahnya. Dia tahu apa yang harus dilakukan.
Jika dunia tidak mengizinkan mereka bersama... maka dia akan menghancurkan semua penghalang. Termasuk Alvian.
Ethan menggigit kuku jarinya sendiri, bahkan tidak sadar jika kukunya sampai berdarah. Dia buru-buru mengambil ponsel yang ada di dalam laci kamarnya. Disana ada dua ponsel dan Ethan mengambil salah satunya.
"Lihat saja, Laila. Aku akan membuatmu kembali kepadaku," lirihnya. Dia mengirim pesan yang berisi ancaman kepada nomor Laila. Bagaimana Ethan bisa mendapatkan kontak Laila? Tentu saja mudah jika dia memiliki uang. Tapi saat dia mengirim pesan, pesan itu gagal dikirim.
Ethan mengernyit, matanya menajam ke layar ponselnya. Pesan yang baru saja ia kirim tidak terkirim—hanya ada tanda seru merah kecil di sampingnya.
Dahinya berkerut. Ia mencoba lagi.
Gagal terkirim.
Jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Ia menggertakkan gigi dan mencoba meneleponnya. Tapi yang ia dapatkan hanyalah suara operator yang menyatakan bahwa nomor tersebut sudah tidak aktif.
Ethan mendadak membeku.
Laila... mengganti nomornya?
Seketika itu juga, darahnya mendidih. Tangan yang menggenggam ponselnya bergetar hebat, lalu—
BRAK!
Dia menghantamkan ponselnya ke dinding sekuat tenaga hingga pecah berantakan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun penuh kemarahan yang meluap-luap.
"Laila..." suaranya bergetar. "Bagaimana bisa jalang sialan itu melakukan ini padaku?"
Dia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai. PRANG! Pecahan kaca berserakan ke segala arah. Ethan tidak peduli. Dengan napas tersengal, dia menendang kursi hingga terbalik, lalu meraih bingkai foto Laila yang tergantung di dinding dan membantingnya ke meja. KRAK! Kaca bingkai retak, serpihannya menusuk tangannya, tapi dia bahkan tidak merasa sakit.
"Apa yang kau pikirkan, hah?! Apa kau pikir bisa lari dariku hanya dengan mengganti nomor ponsel?! Kau pikir itu cukup?!" Ethan meraung penuh amarah.
Dia meraih meja dan membaliknya dengan kasar. Barang-barang berjatuhan, suara benda pecah memenuhi apartemennya yang kini berantakan.
Ethan terengah-engah, tangannya mencengkram rambutnya sendiri dengan frustasi. Matanya liar, penuh kemarahan dan obsesi.
"Tidak..." gumamnya lirih. "Tidak... Kau tidak bisa menjauh dariku, Laila. Kau milikku. Selamanya."
Tatapannya yang kosong mulai dipenuhi kegilaan. Laila mungkin bisa mengganti nomornya, tapi itu tidak berarti dia bisa bersembunyi selamanya.
Ethan menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum mengerikan.
"Baiklah, sayang... Jika kau tidak ingin aku menemukanku dengan cara biasa, aku akan mencarimu dengan cara lain."
Dengan uang dan koneksi yang ia miliki, mendapatkan informasi tentang keberadaan Laila bukanlah hal sulit.
Dia akan menemukannya.
Dia akan memastikan Laila kembali kepadanya.
Dan siapapun yang menghalangi... akan dia singkirkan.
***
Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, waktu subuh sebentar lagi akan datang. Beberapa menit yang dirasakan oleh Alvian adalah beberapa jam. Kira-kira ia bisa memejamkan mata selama 3 jam.
Alvian melirik Laila yang masih tidur. Alvian menatap jam yang terpasang di dinding kamar. Pukul lima kurang lima belas menit. Sebentar lagi adzan subuh. Meskipun Alvian belum menjadi orang baik, tapi dia berusaha untuk memperbaiki diri. Dia memaksakan diri untuk mengerjakan shalat meskipun dalam shalat dia hanya membaca surah pendek saja. Laila selalu memberinya semangat dan tidak pernah mengatakan hal-hal yang dapat membuat diri merasa tidak pantas untuk shalat.
Saat sibuk dengan pikirannya sendiri, perutnya merasakan sesuatu. Alvian memejamkan mata seperti menahan sesuatu. Bisa-bisanya sedang tidur begini, Laila meraba perutnya.
Kalau begini, Alvian hanya bisa menahan diri. Mana dipagi hari hasratnya sering sekali naik. Apa dia begitu mesum? Entahlah, Alvian pun tidak mengerti dengan dirinya sendiri.. Tapi yang namanya nafsu, sulit untuk dikendalikan.
Alvian membuka sedikit selimut untuk menyingkirkan tangan sang istri. Tapi tangan sang istri semakin erat memeluk dirinya. Alvian mengusap pipi sang istri. "Sayang," panggilnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Terkadang Alvian memanggil Laila dengan sebutan 'istriku', 'sayang' atau hanya nama saja. Suka-suka Alvian saja.
Laila menggumam pelan, tanda bahwa dia masih berada di alam mimpi. Wajahnya begitu damai, membuat Alvian tersenyum kecil. Tangannya yang melingkar di perut Alvian semakin erat, membuat pria itu menghela napas panjang.
"Laila..." panggilnya lagi, kali ini lebih lembut.
Namun, alih-alih merespons, Laila justru semakin menyusup ke dalam pelukannya, mencari kehangatan.
Alvian menggigit bibirnya sendiri. Napasnya sedikit berat. Godaan ini... di pagi buta begini... benar-benar ujian.
Dia menutup mata sejenak, mencoba mengatur pikirannya. Sebentar lagi azan Subuh akan berkumandang. Dia harus bangun, mengambil air wudhu, dan berusaha tidak memikirkan hal-hal yang tidak perlu.
Tapi tangan Laila yang mencengkeramnya seakan tidak rela melepas.
Alvian tertawa kecil. "Istriku, bangun." Kali ini dia menempelkan bibirnya di kening Laila, memberinya kecupan ringan.
Laila mengerang kecil, lalu tanpa sadar bergumam, "Lima menit lagi..."
Alvian menghela napas. Lima menit itu bisa jadi lebih lama kalau dia tidak segera bertindak.
Dengan hati-hati, dia mencoba melepaskan tangan istrinya. Tapi sebelum berhasil, Laila malah semakin menempel padanya.
Alvian memejamkan mata erat-erat.
Sabar, Alvian. Sabar.
Kalau begini, rasanya dia benar-benar harus segera bangun... atau semua akan semakin sulit dikendalikan.
Saat azan berkumandang, Laila terbangun. Rambutnya terlihat berantakan dan matanya belum sepenuhnya terbuka. Alvian tertawa kecil.
"Ngantuk," rengeknya.
"Iya, Sayang. Nanti siap shalat kamu tidur lagi," balas Alvian. Sebenarnya salah Alvian juga yang tadi malam pulang terlalu lama. Istrinya tidak mau tidur sampai Alvian benar-benar pulang.
Setelah menghadiri undangan Pak Hardi, Alvian tidak bisa langsung pulang. Dia butuh waktu menenangkan diri karena emosinya sedang tinggi.
Mata Laila terbuka sepenuhnya. Namun saat tangan Alvian menyentuh tangannya, saat itu Laila baru sadar kalau tangan suaminya terluka. "Ini kenapa kok sampai luka?" tanyanya dengan wajah khawatir. Alvian baru ingat kalau tangannya terluka. Dia menyembunyikan tangannya di belakang. "Nggak kenapa-kenapa kok," jawabnya.
Laila mengernyit, jelas tidak percaya dengan jawaban Alvian. "Jangan bohong," ucapnya dengan nada serius. Dia langsung meraih tangan Alvian yang disembunyikan di belakang.
Alvian mencoba menghindar, tapi percuma. Laila sudah terlanjur menggenggam pergelangan tangannya dan melihat luka yang mulai mengering. Matanya langsung melembut, penuh kekhawatiran. "Luka begini malah dibilang nggak kenapa-kenapa."
Alvian menghela napas, tahu dia tidak bisa menghindar lagi. "Cuma lecet dikit," katanya berusaha meremehkan.
Mata Laila melotot. Dia malah menekan luka itu dan membuat Alvian meringis.
"Sakit, kan?"
Alvian tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Apa sudah diobati?" Laila memeriksa luka suaminya dengan serius.
"Udah kok," jawab Alvian. Lukanya memang sudah diobati oleh Ryan. Takut terjadi infeksi jika terlalu lama dibiarkan.
"Syukurlah. Mas itu harus hati-hati," omelnya.
Alvian tersenyum. "Iya iya, Sayang."
Subuh itu, Alvian mendapat berbagai macam omelan dari istrinya. Dia bukannya kesal atau marah, dia malah suka. Kalau istrinya sedang mengomel atau cerewet, terlihat sangat lucu. Lebih baik diomeli daripada didiamkan.
***
Pagi ini sebelum berangkat kerja, Alvian mengantar istrinya terlebih dahulu ke rumah kakek. Laila sudah lama berniat untuk pergi ke rumah kakek, tapi belum ada waktu yang cocok. Dia membawa brownies yang ia buat sendiri.
"Kok kotak untuk aku kecil?" ujar Alvian melihat kotak brownies yang dibawa Laila ke rumah Kakek Liam.
Laila hanya bisa geleng-geleng kepala. "Isinya sama kok," jelasnya karena memang isinya sama.
Alvian tetap cemberut, menatap kotak brownies yang ia pegang dengan tatapan penuh protes. "Tapi tetap aja, yang buat kakek lebih besar. Seharusnya kotak aku yang lebih besar, kan aku suamimu," gerutunya.
Laila terkikik, geli melihat wajah suaminya yang seperti anak kecil. Dia mencubit pelan pipi Alvian. "Kamu itu udah besar, nggak usah iri sama kakek sendiri."
"Tetap aja," Alvian masih belum mau kalah.
Laila menghela napas, lalu meraih kotak brownies yang lebih besar dan menukarnya dengan milik Alvian. "Nih, kalau gitu buat kamu aja yang besar."
Alvian langsung sumringah, tapi sebelum dia sempat bersorak kemenangan, Laila menambahkan, "Tapi kamu harus bilang ke kakek sendiri kalau kotaknya ditukar, ya."
Senyum Alvian langsung menghilang. "Hah?"
Laila menyeringai penuh kemenangan. "Iya, bilang ke kakek kalau kamu mau kotak yang lebih besar, jadi aku tukar. Pasti kakek senang dengar cucunya masih kekanak-kanakan begini."
Alvian langsung meringis. "Nggak jadi deh," katanya buru-buru, mengembalikan kotak brownies yang lebih besar ke tangan Laila.
Laila tertawa kecil. "Makanya jangan aneh-aneh."
Mobil Alvian sudah berada di depan rumah kakek. Dia hanya mengantarkan istrinya saja karena pagi ini ada rapat penting.
"Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku," pesan Alvian.
"Iya iya. Mas hati-hati dijalan."
Laila mencium punggung Alvian. Alvian juga membalas dengan mencium pucuk kepala sang istri.
Mobil Alvian bergerak setelah Laila benar-benar masuk ke dalam rumah kakeknya. Sistem keamanan di rumah kakeknya sangat kuat, jadi Alvian tidak perlu khawatir.
Laila disambut hangat oleh kakek. Bahkan orang-orang dirumah kakek juga sangat ramah sehingga Laila tidak canggung. Laila menemani kakek menikmati brownies yang ia buat sendiri. kakek terkadang terlalu memuji-muji dirinya. Laila sampai malu sendiri.
Laila menikmati waktu santai sambil melihat koleksi miniatur milik Alvian yang tersusun rapi di atas meja kaca dikamar lama suaminya. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Pantas suaminya mendirikan perusahaan games.
Namun, saat dia hendak meraih salah satu miniatur, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor asing.
Laila mengernyit. Siapa ini? Dia sudah mengganti nomornya, hanya sedikit orang yang tahu. Mungkin suaminya menggunakan nomor lain atau ada pesan penting yang harus diterima.
Dengan santai, Laila membuka pesan itu. Namun, begitu matanya menangkap isi pesan tersebut, tubuhnya langsung membeku.
[0967686586 : Sayang... Apa kabar kamu? Apa kamu tidak merindukan aku? Aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa melupakanmu. Aku sangat merindukan kamu. Hahaha. Apa Kamu pikir kamu bisa lari dariku, Laila? Segera tinggalkan Alvian atau aku akan sebarkan video itu. Aku yakin kau masih ingat kejadian 9 tahun lalu. Jika kau tidak patuh, aku pastikan semua orang tahu. Kau tidak akan punya tempat untuk bersembunyi. ]
Darah Laila seperti menghilang dari wajahnya. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tersengal. Video itu? Tidak mungkin! Tidak...
Laila mundur beberapa langkah, lututnya terasa lemas seolah tak sanggup menopang tubuhnya lagi. Tangannya gemetar hebat, begitu kuat hingga ponselnya hampir terlepas. Napasnya memburu, dadanya naik turun tak beraturan. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, sementara matanya membelalak penuh ketakutan.
"Tidak... ini tidak mungkin..."
Suara-suara di sekitarnya terasa menghilang, berganti dengan dengungan tajam yang menusuk telinganya. Tubuhnya gemetar, jantungnya berdebar begitu kencang seperti ingin meledak di dalam dada. Ketakutan yang pernah ia kubur dalam-dalam kini bangkit dengan brutal, mencengkeramnya tanpa ampun.
Laila ingin menjerit, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Udara tiba-tiba terasa begitu tipis, seakan ia sedang tenggelam dalam lautan kepanikan.
Tangannya tanpa sadar meraih meja untuk mencari pegangan, tetapi justru menyenggol miniatur yang tersusun rapi di atasnya.
Brak!
Suara benda-benda itu jatuh ke lantai menggema di ruangan, membelah keheningan. Beberapa miniatur pecah berkeping-keping, tapi Laila bahkan tak sempat peduli. Yang ada di kepalanya hanya ancaman itu, kata-kata yang menghantui, membawanya kembali ke mimpi buruk yang selalu ia coba lupakan.
Tubuhnya semakin lemah, napasnya semakin tersengal. Pandangannya mulai kabur, bercampur dengan air mata yang kini mengalir deras di pipinya. Tangannya menutupi telinganya.
"Tidak... jangan... Akhhhhhh!"
Kakinya melemas sepenuhnya. Dalam hitungan detik, tubuhnya ambruk ke lantai dengan suara berdebam. Matanya terbuka, tapi pandangannya kosong. Segala suara memudar. Dunia terasa menjauh.
Hingga akhirnya, semuanya menjadi hitam.
BAB 39 Trauma Yang Kembali Kambuh
Alvian sedang fokus mendengarkan presentasi dalam rapat ketika ponselnya bergetar di atas meja. Sekilas ia melirik layar, ada nama kakek disana. Dahinya langsung mengernyit. Kakeknya jarang sekali menelepon, apalagi di jam kerja.
Tanpa berpikir panjang, Alvian mengangkat panggilan itu.
"Halo, Kek?"
"Alvian, cepat ke sini! Laila pingsan!" Suara Kakek Liam terdengar panik.
Dunia Alvian seperti berhenti sejenak. Laila pingsan? Kenapa?
Tanpa banyak bicara, Alvian langsung berdiri dari kursinya. Ketua rapat yang sedang berbicara sempat menghentikan pembahasannya, menatap Alvian dengan bingung.
"Maaf, saya harus pergi." Itu saja yang Alvian ucapkan sebelum bergegas keluar dari ruangan tanpa peduli tatapan penasaran rekan-rekan kerjanya.
Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel. Napasnya terasa berat, pikirannya kacau. Ia mencoba menelpon Laila, tapi tidak ada jawaban.
Sial! Apa yang terjadi?
Langkahnya cepat menuju mobil. Jantungnya berdegup kencang, seperti ingin keluar dari dada. Rasa cemas menyelimuti pikirannya, membayangkan sesuatu yang buruk telah terjadi pada istrinya.
Tanpa ragu, ia langsung tancap gas menuju rumah Kakek Liam.
Alvian sangat panik, pikirannya juga tidak tenang. Tadi pagi istrinya terlihat baik-baik saja. Bahkan dia sarapan juga banyak dibanding sebelumnya. Tapi kenapa tiba-tiba pingsan? Alvian tidak bisa berpikir dengan jernih.
Sesampainya dirumah kakek, Alvian berlari sampai sepatunya terlepas. Dia tidak peduli dan langsung mencari keberadaan Laila.
"Dimana Laila, Kek?" tanya Alvian langsung saat melihat kakeknya.
"Dikamar," ujar Kakek. Tidak hanya Alvian yang panik, kakek juga panik.
Nafas Alvian tidak beraturan. Istrinya terbaring diranjang dengan mata terpejam. Bahkan dia tidak peduli dengan koleksi miniaturnya yang berserakan di lantai.
Alvian menggenggam tangan Laila lebih erat, seolah ingin memastikan istrinya benar-benar ada di sana, masih bernapas dengan normal. Tatapannya turun ke wajah istrinya yang masih pucat. Bibirnya sedikit bergetar, dan butiran keringat tipis masih tampak di dahinya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kek," suara Alvian bergetar. "Apa tidak ada yang melihat apa yang terjadi sebelum Laila pingsan?"
Kakek Liam menggeleng pelan. "Kakek benar-benar tidak tahu, Nak. Bi Siti hanya bilang, dia mendengar Laila berteriak dari dalam kamar, lalu tiba-tiba sunyi. Saat Bi Siti masuk, Laila sudah tergeletak di lantai."
Alvian mengepalkan tangannya. Napasnya berat. Gangguan panik nya kambuh? Jika Laila sampai berteriak sebelum pingsan, kemungkinan besar ada sesuatu yang memicunya.
Tanpa pikir panjang, Alvian berdiri dan mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar. Matanya mencari-cari sesuatu, apapun yang bisa menjadi petunjuk.
Di atas meja, ia melihat koleksi miniatur yang biasa ia pajang, kini berantakan di lantai. Beberapa di antaranya patah. Alvian berjongkok, mengambil salah satunya. Laila pasti menjatuhkan ini saat panik.
Alvian menggertakkan giginya. Sial! Kenapa di kamar ini tidak ada CCTV?! Jika ada, ia pasti bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tangannya kembali mengepal. Jika benar ini gangguan panik, apa penyebabnya? Tidak mungkin Ethan ke sini. Apalagi sistem keamanan rumah kakek sangat ketat.
Mata Alvian kembali menatap wajah Laila yang masih terpejam. Napasnya lebih tenang sekarang, tapi kecemasan di hati Alvian justru semakin menjadi-jadi.
Dia harus mencari tahu apa yang membuat istrinya ketakutan sampai seperti ini.
"Untuk sementara waktu, jangan biarkan siapapun masuk ke kamar ini Kek," ujar Alvian.
"Kenapa?"
Alvian tidak tahu harus menjelaskan dari mana.
"Pokoknya jangan dulu, kalau nanti Kakek mendengar teriakan atau apapun, Kakek jangan masuk ke sini," ujar Alvian.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Alvian?" Kakek bertanya dengan wajah sangat khawatir.
"Nanti aku jelaskan. Jadi aku mohon, lakukan saja apa yang aku katakan." Wajah Alvian terlihat tidak baik-baik saja.
Alvian tidak meninggalkan Laila sama sekali. Dia menunggu sampai Laila terbangun.
1 jam kemudian, Laila terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar hebat, matanya liar menatap sekeliling, seolah mencari sesuatu yang bisa mengancamnya. Detik berikutnya, ia menjerit. Suara tangisannya pecah, penuh ketakutan yang mencekam.
"Jangan... jangan..." gumamnya, tubuhnya bergetar hebat. Ia beringsut ke belakang, berusaha menjauh, meski tidak ada siapa pun yang mengancamnya. Tatapannya kosong, tapi sorot ketakutan di matanya begitu jelas.
"Laila! Sayang, ini aku!" Alvian segera mendekat, kedua tangannya berusaha menggenggam tangan Laila yang terasa dingin seperti es.
Laila menepis tangan Alvian dengan kasar, ketakutan masih menguasainya. "Jangan sentuh aku! Jangan—!"
Alvian tersentak. Luka di hatinya seperti menganga lebar saat istrinya menolak sentuhannya. Tapi dia tahu, ini bukan salah Laila. Istrinya sedang diliputi ketakutan yang bahkan dia sendiri tidak bisa menjangkaunya.
"Sayang, ini aku, Mas Alvian," suaranya bergetar, tapi tetap lembut. "Semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu kamu takutkan. Aku di sini..."
Laila masih gemetar, tubuhnya lemah tapi napasnya tersengal seperti baru saja berlari sejauh berkilo-kilometer. Air matanya bercucuran, wajahnya pucat pasi.
Alvian mencoba lagi. Kali ini, ia mendekat dengan lebih pelan, seolah takut membuat Laila semakin terpojok. "Kamu aman, Sayang. Tidak ada yang bisa menyakitimu. Aku di sini. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu."
Matanya menatap dalam ke mata Laila yang masih dipenuhi kepanikan.
Laila menelan ludah, air matanya terus mengalir. Ia melihat wajah suaminya, mendengar suara lembut yang terus berusaha menenangkannya. Seketika dadanya terasa sesak, tapi perlahan, ketakutan itu mulai surut.
Alvian memanfaatkan momen itu untuk menarik Laila ke dalam pelukannya. Istrinya masih kaku, tapi setidaknya dia tidak menolak lagi.
"Sstt... semuanya sudah berlalu, Sayang," bisik Alvian, tangannya mengusap punggung Laila dengan lembut. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi."
Laila semakin tidak terkendali. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tersengal, dan matanya dipenuhi ketakutan yang sulit dijelaskan. Ia memegangi kepalanya, meremas rambutnya dengan kasar, seolah ingin mengusir sesuatu dari pikirannya.
"Pergi... pergi...!" erangnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Tiba-tiba, Laila meraih ponselnya yang ada di samping tempat tidur. Tanpa berpikir panjang, ia melempar benda itu dengan keras ke lantai.
Brak!
Suara retakan terdengar nyaring. Layar ponselnya pecah.
"Laila!" Alvian tersentak. Ia langsung berusaha menenangkan istrinya, tapi Laila semakin liar. Tangannya mencakar lengan sendiri, meninggalkan goresan-goresan merah yang semakin dalam.
Alvian tidak bisa hanya diam. Ini bukan sekadar serangan panik biasa. Bahaya kalau sampai Laila melukai dirinya lebih parah.
Dengan cepat, Alvian menggenggam kedua tangan Laila, menahannya agar tidak terus mencakar diri sendiri. "Sayang, hentikan! Itu menyakitimu!" suaranya penuh kepanikan, tapi tetap lembut.
Laila meronta, air matanya semakin deras. "Menjijikan...kotor" suaranya tercekat di antara isakan tangisnya. "Akhhhh...."
Alvian menelan ludah. Jantungnya terasa sesak melihat kondisi istrinya seperti ini. Ia tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut.
Dengan satu tangan tetap menggenggam erat pergelangan Laila, tangan lainnya langsung mengambil ponsel miliknya. Jemarinya dengan cepat menekan kontak dokter psikolog yang pernah menangani Alvian saat kesulitan tidur. Alvian juga pernah berkonsultasi mengenai keadaan Laika.
Tut... tut...
"Dok, saya butuh bantuan sekarang," suara Alvian terdengar mendesak dan juga nada memohon. "Laila kambuh... dan istri saya—" Alvian melirik istrinya yang masih berusaha meronta. Luka-luka di lengannya semakin jelas terlihat. "Dia melukai dirinya sendiri."
Dokter di ujung telepon segera merespons, menanyakan kondisi lebih lanjut.
"Saya nggak bisa membawanya sekarang, Dok. Kondisinya nggak memungkinkan," Alvian mencoba menahan suaranya yang bergetar. "Tolong, Dok...."
Setelah memberikan alamat, Alvian melempar ponselnya ke atas kasur dan kembali memfokuskan dirinya pada Laila. Ia menarik istrinya ke dalam pelukannya, menahan tubuhnya yang masih gemetar.
"Sstt... aku di sini, Sayang. Tolong bertahan sebentar. Dokter akan segera datang."
Tapi Laila terus menangis, tubuhnya semakin melemas di pelukan Alvian. Air mata Alvian hampir jatuh. Tapi dia harus kuat.
***
Kamar yang tadi sibuk mulai sunyi, hanya suara napas Laila yang terdengar teratur setelah efek obat penenang mulai bekerja. Alvian terduduk di lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Pandangannya kosong menatap ke depan, tapi pikirannya penuh dengan berbagai hal.
Kemejanya berantakan, kancing bagian atas terlepas, rambutnya kusut akibat terlalu sering menyentuh kepala dalam frustasi. Jemarinya masih bergetar sisa dari ketegangan tadi. Ia bahkan tak menyadari bahwa dadanya naik turun dengan napas yang tidak teratur.
Laila yang tertidur di atas ranjang terlihat begitu rapuh. Matanya masih basah oleh air mata yang belum lama ini mengalir. Alvian meremas rambutnya sendiri, menahan perasaan yang ingin meledak. Alvian merasa gagal.
Janji yang dulu ia ucapkan, bahwa ia akan menjaga dan melindungi Laila dari segalanya, ternyata hanya sekadar kata-kata. Kenyataannya, istrinya kembali menderita. Ia tidak cukup cepat untuk mencegah ini semua terjadi.
"Pak Alvian," suara dokter yang masih berdiri di dekat ranjang terdengar tenang, tetapi dalamnya ada nada prihatin. "Jangan menyalahkan diri sendiri."
Alvian tetap diam, matanya masih terpaku pada wajah Laila.
Dokter menghela napas, lalu berjongkok di hadapan Alvian agar bisa menatapnya langsung. "Saya tahu ini sulit. Tapi Anda sudah melakukan yang terbaik. Jangan biarkan rasa bersalah menguasai Anda. Laila butuh Anda dalam kondisi yang kuat."
Alvian menelan ludah. Kata-kata itu seharusnya bisa membuatnya merasa lebih baik, tapi nyatanya tidak. "Terima kasih, Dok."
"Untuk sementara waktu, kita akan memberikan obat secara berkala. Saya harap Anda selalu ada untuk istri Anda. Istri Anda sangat membutuhkan dukungan."
Alvian mengangguk. Dokter tidak bisa berlama-lama karena dia juga harus memeriksa pasien yang lain.
Kakek Liam melangkah masuk dengan tenang. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Tatapannya penuh pemahaman. Dia mendekati cucunya dan tanpa ragu berjongkok di sampingnya, merengkuh tubuh Alvian dalam pelukannya.
Begitu merasakan kehangatan pelukan kakeknya, pertahanan Alvian runtuh. Ia mencengkeram baju kakeknya erat-erat, tubuhnya gemetar hebat, dan tangisnya pecah begitu saja.
Kakek sudah bertanya kepada dokter tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja kakek sedih. Padahal dia melihat Laila seperti perempuan yang ceria, tapi ternyata memiliki trauma yang berat.
Beberapa menit kemudian, Alvian berhenti menangis. Dia mengusap air matanya karena merasa malu. Kakek hanya tertawa saja melihat cucunya itu.
"Ganti baju kamu dulu, Laila bisa kaget lihat kamu berantakan begini," ujar Kakek.
Alvian mengangguk. Sebelum membersihkan diri, Alvian ponsel Laila yang tergeletak dilantai.
Alvian memeriksa apa ponselnya masih menyala atau tidak. Ternyata masih menyala. Alvian meletakkan ponsel sang istri ke atas nakas. Tapi tubuhnya berhenti sejenak, kenapa Laila hanya melempar ponselnya? Kenapa dia begitu jijik dengan ponselnya sendiri? Alvian jadi bertanya-tanya. Dia kembali mengambil ponselnya itu.
Ponsel Laila terkunci. Alvian butuh sidik jarinya agar terbuka. Ia mengangkat tangan Laila yang terkulai lemas di atas kasur. Perlahan, dia menempelkan jari istrinya ke sensor sidik jari di layar. Dalam sekejap, ponsel terbuka.
Matanya segera menelusuri layar. Tidak ada aplikasi yang aneh, tidak ada sesuatu yang mencurigakan... sampai akhirnya dia membuka pesan.
Dahinya semakin mengernyit saat melihat ada satu pesan terakhir yang belum dihapus. Satu pesan dari nomor tak dikenal.
Dan begitu matanya membaca isi pesan itu, darahnya langsung mendidih.
BAB 40 Menghajar Ethan
Alvian tidak bisa diam. Napasnya memburu, dadanya bergemuruh penuh amarah. Tulang-tulang jarinya masih menggenggam ponsel Laila dengan kuat, sementara pikirannya hanya dipenuhi satu nama Ethan.
Dengan tangan bergetar, Alvian segera menghubungi orang-orang kepercayaannya. Mereka bergerak cepat, dan dalam hitungan menit, informasi yang dia butuhkan sudah ada di tangannya.
Ethan sedang berada di club A
Alvian melempar ponsel Laila ke atas kasur, lalu meraih kunci mobil dengan gerakan kasar. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
"Kamu mau ke mana?" tanya Kakek dengan nada waspada.
"Menyelesaikan ini," jawab Alvian singkat, suaranya dingin dan tajam.
"Apa maksudmu? Alvian—"
Tapi Alvian sudah melangkah keluar tanpa menoleh. Kakek berusaha menahannya, tapi tatapan Alvian begitu gelap, begitu berbahaya. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.
Dia melajukan mobil dengan kecepatan gila. Knuckles-nya memutih karena cengkeramannya terlalu erat di setir. Di kepalanya hanya ada satu tujuan: menemukan Ethan dan menghabisinya.
Pikirannya dipenuhi gambaran Laila yang gemetar ketakutan, yang berteriak seperti orang gila, yang sampai menyakiti dirinya sendiri. Semua itu karena Ethan.
Tiap kali bayangan Laila yang ketakutan muncul dalam pikirannya, Alvian semakin menginjak gas. Jalanan yang mulai ramai di pagi hari tak mengurangi keinginannya untuk segera tiba di tempat tujuan.
Klub A terletak di jantung kota, tempat orang-orang kelas atas menghabiskan waktu dengan minuman mahal dan musik yang menghentak. Alvian tahu Ethan suka bersembunyi di sana, menikmati hidupnya seakan tak ada konsekuensi.
Begitu tiba, Alvian memarkir mobilnya secara kasar, bahkan tidak peduli apakah bannya menyentuh garis parkir atau tidak. Langkahnya cepat, bahunya menegang, dan dadanya naik turun menahan amarah.
Dua penjaga di depan pintu menatapnya curiga. "Maaf, Pak. Anda tidak bisa masuk tanpa—"
Alvian hanya menunjukkan kartu namanya saja. Penjaga tidak lagi menghalangi dirinya.
Tanpa membuang waktu, Alvian masuk ke dalam klub. Musik keras menggema di telinganya, lampu-lampu neon berputar dalam warna merah dan ungu. Matanya bergerak cepat, mencari targetnya.
Dan di sana, di sudut ruangan dengan sebotol whiskey di tangannya, Ethan tertawa bersama beberapa wanita di sekelilingnya.
Alvian merasakan darahnya mendidih. Laila hancur karena pria ini, sementara Ethan bersenang-senang tanpa beban.
Sialan!
Dengan langkah lebar, Alvian menerjang Ethan. Tinju pertamanya menghantam pipi pria itu, membuatnya jatuh tersungkur ke lantai. Jeritan wanita-wanita di sekeliling mereka bercampur dengan dentuman musik.
Nafas Alvian tidak tentu arah. Bahkan dia tidak bisa mengendalikan tubuh sendiri.
"Apa yang Anda lakukan, Pak Alvian?" ujar Ethan dengan nada terkejut palsu, mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Matanya yang berkilat penuh kepuasan justru semakin memancing amarah Alvian.
Sialan! Dia benar-benar berpura-pura tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi. Seolah-olah dia korban dalam situasi ini.
Nafas Alvian semakin memburu. Tangannya mencengkram kerah baju Ethan dengan erat, jari-jarinya bergetar bukan karena takut, tapi karena amarah yang siap meledak.
"Kau masih berani berpura-pura?!" suara Alvian menggelegar, membuat beberapa orang di sekitar menoleh ke arah mereka.
Tanpa menunggu jawaban, Alvian melayangkan pukulan keras ke rahang Ethan. Kepala pria itu terpelanting ke samping, tapi dia belum sempat mencerna rasa sakitnya ketika satu pukulan lain menghantam perutnya.
Ethan tersungkur ke lantai, terbatuk, tapi Alvian tidak memberi kesempatan. Dia menarik pria itu ke atas lagi dan menghajarnya tanpa ampun. Tinju bertubi-tubi mendarat di wajah Ethan, membuat darah mulai mengalir dari hidungnya.
Ethan merintih, tapi Alvian tidak peduli. Di kepalanya, hanya ada bayangan Laila yang ketakutan. Laila yang hampir kehilangan akal sehatnya karena pria sialan ini.
"BRENGSEK!" geramnya, kembali menghantam pipi Ethan.
Satu orang dari pengunjung mencoba menarik tubuh Alvian ke belakang. "Pak, tolong hentikan!" seru pria itu, tapi Alvian hanya butuh satu dorongan untuk membuatnya jatuh ke belakang.
Ethan berusaha bangkit, tapi Alvian lebih cepat. Satu pukulan lagi menghantam pelipisnya, membuatnya kembali tersungkur.
Sekarang, lebih banyak orang mulai ikut campur. Dua, tiga orang mencoba menahan Alvian. Tapi dia masih bisa melepaskan diri, dorongan penuh tenaga membuat orang-orang itu terjengkang ke belakang.
Ethan mengangkat tangannya, seolah meminta belas kasihan. "Pak Alvian, saya tidak tahu apa salah saya! Kenapa Anda melakukan ini kepada saya?!" suaranya cukup lantang, cukup untuk membuat para pengunjung lainnya mulai berbisik-bisik.
Darah Alvian semakin mendidih. Dia mencoba menerjang lagi, tapi kali ini lima orang langsung menariknya. Tubuhnya benar-benar terkunci, tidak bisa lagi bergerak bebas.
Dia menggeram, meronta, tapi cengkeraman di lengannya terlalu kuat.
Dan saat itu juga, dia melihatnya.
Senyuman licik Ethan.
Senyum yang penuh kemenangan.
Brengsek!
"SIALAN KAU, ETHAN!" teriak Alvian, suaranya penuh amarah.
Ethan masih tersenyum penuh kemenangan, seolah semua ini hanyalah permainan baginya. Tangannya mengusap sudut bibir yang berdarah, tatapannya penuh ejekan.
"Lihatlah, semua orang akan berpikir akulah korbannya di sini," katanya dengan suara rendah namun cukup untuk membuat Alvian semakin geram.
Alvian menggertakkan giginya, tubuhnya menegang, otaknya terus menuntut satu hal yaitu habisi dia. Tapi dia tidak bisa. Terlalu banyak orang menahannya, dan lebih buruk lagi, beberapa dari mereka mulai mengeluarkan ponsel, siap menghubungi polisi.
"Lepaskan saya!" bentaknya, meronta dengan tenaga yang masih tersisa.
Orang-orang yang menahannya tampak ragu, tapi akhirnya satu per satu mereka melepaskannya. Alvian berdiri tegap, tangannya mengepal di sisi tubuh, napasnya berat dan tidak teratur.
Dia memperbaiki kerah kemejanya yang kusut, lalu menatap Ethan dengan tajam. Mata pria itu penuh amarah, penuh janji akan balas dendam yang lebih besar dari sekadar pukulan di wajah.
"Aku akan menghancurkan hidupmu," suaranya rendah, dingin, berbahaya.
Ethan tidak mengatakan apa-apa. Hanya menyeringai, seolah tidak gentar sama sekali.
Alvian mendekat satu langkah, lalu meludah ke tubuh Ethan yang masih terkapar di lantai.
Setelah itu, dia berbalik pergi.
Langkahnya tegas, penuh kepastian. Ini belum berakhir. Tidak akan pernah berakhir sampai Ethan mendapatkan balasan yang setimpal.
Alvian masuk ke dalam mobil dengan napas memburu, dadanya naik turun penuh amarah. Tangannya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat tangannya dan—
Brak!
Sebuah pukulan keras mendarat di setir mobil.
Brak! Brak! Brak!
Dia menghantam setir berulang kali, melampiaskan amarah yang tak bisa disalurkan pada Ethan. Mobil bergetar karena pukulannya, tapi itu tidak cukup. Rasanya tidak ada yang cukup untuk meredakan gejolak di dalam dadanya.
"Mengapa aku tidak bisa menghabisinya?" gumamnya, suara serak penuh kebencian.
Dia menggeram, mencengkram rambutnya sendiri. Matanya terasa panas, tapi dia menolak menangis. Dia tidak boleh lemah. Tidak sekarang.
Bayangan wajah Ethan yang tersenyum mengejek masih berputar di kepalanya. Laila yang hancur, ketakutan, dan hampir kehilangan kendali atas dirinya sendiri—semua itu karena pria itu.
Tangannya masih bergetar. Napasnya masih berat.
Alvian menekan dahinya ke setir, mencoba mengatur emosinya yang berantakan. Tapi bagaimana bisa? Jika orang seperti Ethan masih berkeliaran bebas, jika Laila masih dalam bahaya...
Tidak. Ini belum selesai.
Alvian mengangkat kepalanya perlahan, sorot matanya kini penuh tekad. Jika dia tidak bisa menghabisi Ethan dengan tinjunya, dia akan menghancurkannya dengan cara lain.
Dengan cara yang lebih menyakitkan. Alvian harus mengumpulkan bukti-bukti yang kuat terlebih dahulu.
***
Alvian kembali ke rumah. Dia ingin segera bertemu dengan istrinya. "Apa yang baru saja kamu lakukan?" tanya kakek saat Alvian baru sampai dirumah.
"Tidak ada." Alvian terlalu malas menjelaskan. Namun luka di tangannya serta penampilan yang berantakan sudah menjabarkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu jangan membohongi kakek."
Alvian menghela nafas panjang. "Aku baru saja memukul sampah," jelasnya dengan tidak niat.
Kakek mengerutkan kening. "Sampah?"
"Iya."
Kakek Liam bertambah bingung.
"Sampah yang sudah membuat Laila seperti sekarang," lanjut Alvian lagi.
"Apa?" Kakek terkejut. "Siapa orangnya?" Kakek Liam ikutan mendidih. Dia tahu gambaran besar saja dari dokter bahwa Laila pernah mengalami hal yang mengerikan sehingga menyebabkan trauma sampai sekarang.
"Apa yang akan Kakek lakukan jika tau?"
"Tentu saja kakek akan menjebloskan dia ke penjara."
Alvian tertawa dengan tidak niat. "Tapi aku ingin membunuhnya," ujar Alvian dengan serius.
Kakek Liam terdiam. Kakek Liam menatap Alvian dengan dalam. Mata tuanya yang biasanya penuh kebijaksanaan kini memancarkan emosi yang sulit diartikan—marah, terluka, dan prihatin sekaligus.
"Kamu tahu kalau itu bukan solusi, kan?" suara kakek lebih rendah, lebih dalam dari biasanya.
"Ya, tapi aku ingin membunuhnya."
"Jangan gegabah, Alvian. Apa yang akan Laila lakukan kalau kamu sampai menjadi pembunuh?" Kakek lebih mengkhawatirkan Laila jika memang Alvian sampai membunuh seseorang. Alvian tidak pantas mengotori tangannya untuk sosok sampah.
"Pikirkan Laila, Kakek mohon."
Alvian tidak sanggup berkata-kata lagi.
"Siapa orangnya?" tanya kakek.
"Anak Pak Hardi."
Mata Kakek langsung melotot. "Apa kamu tidak salah orang?"
Alvian menggeleng. "Walaupun aku tidak punya bukti yang kuat, tapi dialah orangnya. Trauma Laila kambuh setelah tidak sengaja bertemu dengannya di perilisan game perusahaanku."
Kaki kakek sampai lemas. Dia berpegang pada tongkat dengan kuat agar tidak terjatuh. Tentu saja kakek syok berat.
"Apa kakek baik-baik saja?" Alvian khawatir.
"Ya. Kakek hanya butuh istirahat sebentar." Kakek memilih duduk di sofa. "Baiklah, " balas Alvian. "Apa Laila sudah bangun?" tanyanya lagi.
Kakek menggeleng. Alvian masuk ke dalam kamar. Memang benar Laila masih memejamkan mata. Harusnya Alvian membiarkan Laila di desa saja. Jika dia tidak menikah dengan Laila, maka Laila tidak akan pernah bertemu dengan Ethan. Rasa bersalah Alvian semakin membesar.
Alvian yang tadinya tidak jadi membersihkan diri, kini dia memutuskan untuk membersihkan diri. Alvian harus ada saat Laila bangun nanti. Urusan pekerjaan ia serahkan kepada Dylan untuk sementara waktu. Alvian juga berencana untuk meminta tolong kepada kedua orang tua Laila agar datang ke sini. Laila butuh banyak dukungan dan kekuatan.
Tidak lama setelah membersihkan diri. Alvian menahan napas saat melihat Laila membuka mata. Sekilas, ada kelegaan di hatinya, tetapi lenyap begitu saja saat dia melihat tatapan kosong itu.
"Laila..." bisiknya, suaranya serak karena terlalu banyak emosi yang dia tahan sejak tadi.
Tanpa pikir panjang, Alvian langsung menarik istrinya ke dalam pelukannya. Dia mengeratkan pelukan itu, seolah takut jika dia melepaskannya, Laila akan menghilang begitu saja.
"Aku di sini... Aku di sini, Sayang..." bisiknya di dekat telinga Laila.
Tubuh Laila terasa begitu dingin dan lemah di dalam pelukannya. Dia tidak menangis, tidak meronta, tapi juga tidak membalas pelukannya. Hanya diam.
Alvian menggigit bibirnya sendiri, mencoba menahan perasaan sesak yang menghantam dadanya.
"Laila, lihat aku," pintanya, mencoba menatap wajah istrinya.
Perlahan, Laila mengangkat wajahnya. Tapi sorot matanya tetap kosong. Tidak ada emosi, tidak ada kehidupan. Hanya kehampaan.
Alvian merasa dadanya seperti diremas.
"Sayang, aku sudah di sini. Kamu aman sekarang," katanya lagi, mencoba meyakinkan Laila, meskipun yang sebenarnya dia yakinkan adalah dirinya sendiri.
Tangan Alvian terangkat, mengusap lembut rambut Laila. Dia tidak peduli seberapa lama Laila diam seperti ini, dia akan tetap ada di sisinya.
Laila mengerjapkan mata, napasnya masih lemah. Tapi dalam satu detik, dia akhirnya berbicara.
"Alvian..." suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Jantung Alvian berdegup kencang. "Iya, Sayang. Aku di sini."
"Aku... takut."
Hanya dua kata itu. Tapi rasanya seperti belati yang menusuk hati Alvian dengan kejam.
"Aku disini, sayang. Tidak ada yang akan menyakiti kamu." Alvian berusaha untuk menenangkan sang istri.
Alvian menatap wajah istrinya yang masih pucat. Nafas Laila sudah lebih stabil, tapi tubuhnya tetap terasa dingin. Alvian tahu, sejak kejadian tadi, istrinya belum makan apa pun.
"Laila, kamu belum makan sama sekali, Sayang," ucapnya lembut, tangannya masih mengusap punggung Laila dengan hati-hati.
Laila tidak merespons. Dia hanya diam, masih memeluk lututnya dengan tatapan kosong ke arah jendela.
"Laila..." panggil Alvian sekali lagi, kali ini dia menggeser duduknya lebih dekat, meraih tangan istrinya dan menggenggamnya erat.
Laila menggeleng.
Alvian menghela napas pelan. "Kamu butuh makan supaya tetap kuat. Aku nggak mau kamu sakit," bujuknya sabar.
Laila tetap diam. Matanya tidak fokus, seolah pikirannya berada di tempat lain.
Alvian menatapnya dengan perasaan campur aduk. Dia tidak ingin memaksa, tapi dia juga tidak bisa membiarkan Laila terus seperti ini.
"Laila, tolong, hanya beberapa suap saja, ya?" Alvian menggeser posisi, lalu mengambil mangkuk bubur yang sudah disiapkan Bi Siti di atas meja. "Aku yang akan menyuapi kamu, oke?"
Laila masih tidak merespons.
"Laila, lihat aku..." pinta Alvian.
Perlahan, Laila mengangkat wajahnya dan menatap Alvian dengan tatapan lelah.
"Untuk aku, Sayang... hanya beberapa suap saja," ucap Alvian penuh harap.
Laila terdiam cukup lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Alvian tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa berat. Dia mengambil sendok, meniup bubur hangat itu sedikit, lalu menyodorkannya ke bibir Laila.
"Bagus. Sekarang buka mulutmu, Sayang," ucapnya lembut.
Laila menuruti, meskipun jelas sekali dia tidak berselera.
Satu suap.
Dua suap.
Alvian terus menyuapinya dengan sabar, mengusap punggungnya pelan di setiap suapan.
"Terima kasih, Sayang..." bisiknya, menatap Laila penuh kasih.
Laila tidak menjawab, tapi setidaknya dia makan. Itu sudah cukup untuk sekarang.
BAB 41 Ditangkap Polisi
"Mas..." ringis Laila sambil membangunkan suaminya.
Alvian yang memang hanya tidur ayam langsung terbangun. "Apa sayang?" tanyanya.
"Perut aku sakit," lirihnya dengan peluh keringat yang keluar banyak.
Alvian langsung duduk tegak, napasnya tercekat saat melihat wajah Laila yang pucat dan dipenuhi keringat dingin.
"Laila? Sayang, kamu kenapa?" tanyanya panik.
Laila menggigit bibirnya menahan sakit. Tangannya mencengkram perutnya dengan erat. "Sakit... Mas, sakit banget..." suaranya terdengar lemah, nyaris seperti bisikan.
Alvian baru saja hendak mengusap kening istrinya untuk menenangkan, tapi sesuatu yang lain justru membuatnya terperanjat.
Sprei tempat tidur mereka...
Ada noda merah di sana.
Darah.
"Ya Allah..." Alvian tergagap, tubuhnya menegang seketika. "Laila, ini banyak banget darahnya!"
Laila, yang masih mencengkram perutnya, menoleh lemah ke arah Alvian. Napasnya tersengal, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "M-mungkin... cuma datang bulan, Mas. Aku... memang telat bulan kemarin," katanya dengan suara nyaris tak terdengar.
"Ha? Apa benar begitu? Tapi Kamu kesakitan begini!" Alvian semakin panik. Tangan besarnya bergerak cepat meraih ponsel, bersiap menghubungi ambulans, tapi kemudian urung. Terlalu lama. Dia harus segera membawa istrinya sendiri.
Tanpa pikir panjang, Alvian langsung menyibakkan selimut dan mengangkat tubuh Laila ke dalam gendongannya. "Kita ke rumah sakit sekarang!"
"T-tunggu, Mas... Aku nggak apa-apa kok" Laila merintih, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menolak.
"Jangan banyak bicara! Kamu harus cepat diperiksa dokter!"
Alvian berjalan tergesa ke luar kamar. Langkahnya nyaris berlari menuruni tangga, membuat kakek yang baru keluar dari kamar terkejut melihat cucunya membawa Laila dengan wajah penuh kepanikan.
"Alvian! Ada apa?"
"Laila sakit perut, Kek!" sahut Alvian tanpa berhenti melangkah.
Tanpa banyak tanya, Kakek Liam segera mengikuti mereka menuju garasi. Alvian menempatkan Laila di kursi penumpang dengan hati-hati sebelum melesat ke belakang kemudi.
Mobil melaju kencang menerobos jalanan malam yang sepi. Alvian menggenggam tangan Laila erat, seolah takut jika dia melepaskannya, Laila akan semakin tenggelam dalam kesakitannya.
"Sayang, tahan sebentar, ya?" ucapnya, suara Alvian bergetar.
Laila hanya bisa mengangguk lemah. Biasanya dia setiap datang bulan memang sedikit merasa sakit perut, tapi tidak separah sekarang. Laila sampai berkeringat dingin dengan wajah pucat.
Banyak hal yang sudah terjadi. Laila rasanya sudah terlalu lelah dan tidak ingin memikirkan apapun.
Sesampainya di rumah sakit, Alvian langsung keluar dari mobil dan berlari ke sisi istrinya. "Tolong! Istri saya pendarahan!" teriaknya begitu sampai di depan UGD. Alvian tidak tahu apa penyebab sang istri pendarahan. Apa memang sedang datang bulan atau lainnya.
Beberapa perawat segera berlari dengan ranjang dorong. Alvian membantu memindahkan Laila yang semakin lemas ke atas ranjang itu. Tangannya masih menggenggam tangan istrinya erat, enggan melepaskannya.
"Pak, mohon tunggu di luar. Kami akan segera menangani istri Anda," ucap salah satu perawat dengan tegas, tetapi tetap lembut.
"T-tapi..." Alvian ragu, menatap wajah Laila yang semakin pucat.
Laila menoleh sedikit, mencoba tersenyum meski lemah. "Aku nggak papa, Mas..." bisiknya sebelum ranjangnya didorong masuk ke ruang UGD.
Alvian berdiri terpaku, hatinya terasa dicengkeram begitu kuat. Dia bisa melihat dokter dan tim medis langsung bergerak cepat. Salah satu dokter pria dengan jas putih memberi instruksi, sementara seorang perawat menyiapkan infus.
"Denyut nadinya lemah!" suara salah satu dokter terdengar dari dalam ruangan.
"Siapkan USG darurat! Kita harus pastikan penyebab pendarahannya!" perintah dokter lainnya.
Alvian mengepalkan tangan, jantungnya berdentum kencang. Matanya menatap pintu UGD yang tertutup, menahan diri agar tidak masuk dan mengganggu mereka.
Alvian menunggu dengan raut wajah penuh kepanikan. Belum menyelesaikan masalah satu, tapi masalah lain sudah datang. Jantung Alvian sampai tidak diberi jedah untuk bisa berdetak dengan normal. Alvian duduk dengan kepala menunduk. Ketakutan demi ketakutan menghantui dirinya. Alvian bahkan tidak memakai alas kaki sama sekali saking paniknya.
Dini hari yang dingin tidak membuat dirinya merasa dingin sama sekali. Padahal Alvian menggunakan baju tidur yang tipis. Alvian hanya memikirkan istrinya saja.
Dua jam terasa seperti seumur hidup bagi Alvian. Dia terus mondar-mandir di depan ruang UGD, jantungnya berdetak tak menentu. Setiap kali ada perawat keluar masuk, dia selalu berharap mereka membawa kabar baik. Tapi tidak ada satupun yang mendekatinya—hingga akhirnya, seorang dokter keluar dengan ekspresi serius di wajahnya.
"Pak..." panggil dokter itu.
Alvian segera berdiri, matanya menatap dokter dengan penuh harap dan kekhawatiran. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?"
Dokter menghela napas, lalu menatapnya dengan tenang. "Istri Anda mengalami threatened miscarriage atau keguguran terancam. Jika Anda terlambat membawanya ke sini, janinnya mungkin tidak bisa diselamatkan."
Alvian membeku. Kata-kata dokter itu terasa menghantamnya seperti palu godam. Janin?
"Istri saya... hamil?" suaranya nyaris tak keluar. Tubuh Alvian langsung lemas tidak berdaya. Dia pikir salah dengar sehingga ingin memastikan.
"Ya, istri Anda sedang hamil, Pak. Apa Bapak tidak mengetahuinya?"
Alvian nyaris terjatuh jika perawat yang ada disamping dokter tidak menahan tubuhnya. "Sa-saya tidak tau, Dok," lirihnya. Kepalanya tiba-tiba terasa berat. Seperti baru saja terlempar batu besar.
"Istri Anda sedang hamil, Pak. Usia kandungannya diperkirakan 9 minggu."
Alvian mengepalkan tangannya, dadanya terasa begitu sesak. Dia tidak tahu. Selama ini, dia tidak tahu bahwa Laila sedang mengandung anak mereka. Perasaan bersalah menghantamnya tanpa ampun. Semua stres, trauma, dan ketakutan yang dialami Laila... semua itu pasti memengaruhi kondisi janinnya.
"Lalu bagaimana sekarang, Dok? Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Untuk sementara kondisi istri Bapak masih lemah. Kami akan mengawasinya secara ketat dalam beberapa waktu kedepan. Dia butuh istirahat total dan harus dijauhkan dari stres apapun," jelas dokter itu.
Alvian menelan ludah, matanya sedikit memanas. Dia bahkan belum sempat pulih dari keterkejutannya, dan kini dokter mengatakan bahwa istrinya harus dijauhkan dari stres? Bagaimana caranya, sementara kehidupan mereka penuh dengan masalah?
Dia menatap dokter itu dengan sorot penuh ketegangan. "Apa saya bisa menemuinya?"
Dokter tersenyum tipis. "Silahkan, Pak. Namun pasien sedang beristirahat. Kami masih harus memastikannya benar-benar stabil sebelum dipindahkan ke ruang perawatan. Jadi silahkan Bapak mengurus administrasi kepindahan ke ruang rawat inap"
Alvian mengangguk lemah. Setelah dokter pergi, dia merosot ke kursi, wajahnya tersembunyi di antara kedua tangannya.
Hatinya terasa kosong, penuh dengan perasaan bersalah dan ketakutan. Dia hampir kehilangan anaknya.
***
Tidak butuh waktu lama, Laila sudah dipindahkan ke ruang VIP. Rasa bersalah Alvian semakin menjadi-jadi. Air matanya bahkan tidak terbendung lagi. Matanya menatap perut sang istri. Kenapa dia tidak sadar? Suami seperti apa dirinya ini?
"Maafkan Papa, Nak. Maafkan Papa..." lirihnya sambil memegang perut sang istri. Bayangkan bagaimana begitu banyak darah yang mengalir terus saja berputar di kepalanya. Allah masih sayang kepada Alvian, Allah masih mempercayai Alvian sehingga anaknya masih hidup di perut sang istri.
Jika usia kandungan istrinya 9 minggu, maka anak ini hadir setelah Alvian berhubungan dengan istrinya pertama kali.
Anaknya tidak boleh tahu bagaimana Alvian saat itu. Dia bahkan sampai lupa kalau sudah menyentuh istrinya karena mabuk. Semoga saja anaknya menjadi anak yang baik seperti Laila bukan seperti dirinya.
Tidak lama kakek Liam datang. Padahal Alvian sudah melarang karena kakeknya sudah tua. Rumah sakit sangat tidak cocok, apalagi sekarang matahari belum terbit.
"Bagaimana keadaan Laila?" tanya kakek. Dia bahwa membawa alas kaki untuk Alvian.
"Laila hamil, Kek."
"Ha?" Kakek terkejut. "Apa kamu bilang?"
Alvian menelan ludah, mengulang kata-katanya dengan suara yang sedikit bergetar, "Laila hamil, Kek. Dia sedang mengandung anakku."
Kakek Liam menatap cucunya dengan mata membelalak. Tubuh tuanya menegang sesaat, lalu dia menggeleng pelan, seolah berusaha memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar.
"Kamu bilang... hamil?" Kakek Liam mengulang dengan suara sedikit parau.
Alvian mengangguk lemah. "Iya, sudah sembilan minggu, Kek."
Kakek Liam terdiam, mencoba mencerna kabar mengejutkan itu. Tatapan tajamnya berubah sedikit samar, emosinya campur aduk. Antara terkejut, khawatir, sekaligus perasaan bahagia yang sulit dijelaskan.
"Ya Allah..." Kakek menghela napas panjang, tangannya meremas tongkatnya erat-erat. "Kenapa kamu tidak tahu? Kenapa Laila tidak bilang apa-apa?"
"Aku juga tidak tahu, Kek. Dia sepertinya juga tidak tau. Untungnya aku membawa Laila dengan cepat kesini, kalau tidak..." Suara Alvian terdengar semakin lemah dan tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi.
Kakek Liam menatapnya dalam-dalam. Wajah cucunya tampak begitu lelah dan penuh penyesalan. Kemudian, tanpa peringatan, kakek mengangkat tongkatnya dan menepuk bahu Alvian cukup keras.
"Makanya jangan sibuk kerja, perhatiin Laila," ujar Kakek Liam dengan kesal.
"Iya iya, Kek." Alvian tidak membela diri sama sekali.
***
Kehebohan terjadi di pagi hari. Sebuah video pemukulan tersebar di berbagai sosial media. Dalam hitungan jam, video yang pertama kali di upload di sosial media instagram mendapat like lebih dari satu juta. Jumlah tayangnya juga besar sehingga video itu dengan mudah viral. Media massa juga memberitakan tentang video tersebut. Judul utama berita baik media cetak maupun media online adalah "Anak dari calon presiden nomor urut 1 menjadi korban pemukulan dari cucu pemilik Liam Grup"
Komentar-komentar masyarakat pun berdatangan. Banyak yang memberikan simpati kepada Ethan, anak calon presiden tersebut. Berita itu mendominasi trending topic nomor satu, bahkan menjadi perbincangan hangat di setiap sudut kota. Alvian, yang saat itu masih berada di ruang tunggu rumah sakit, tak menyangka bahwa masalah pribadinya akan bereskalasi sejauh ini. Apalagi ponselnya mati dan televisi tidak menyala. Fokus Alvian hanya pada istrinya saja. Jadi dia tidak tahu apa kehebohan yang terjadi tentang dirinya.
Entah bagaimana caranya, para media dengan mudah menemukan keberadaan Alvian. Bahkan di luar rumah sakit, suasana semakin riuh. Beberapa awak media mencoba mendekati area rumah sakit untuk mendapatkan wawancara. Namun, mereka dengan cepat dihalau oleh petugas keamanan. Namun, tak lama setelah itu, suara kendaraan polisi terdengar di depan rumah sakit. Beberapa polisi turun dari mobil dan langsung menuju pintu masuk UGD.
Tiga petugas kepolisian mengetuk pintu ruang rawat inap Laila. Alvian yang sedang mengusap dahi sang istri langsung menghentikan aktivitasnya. Jantungnya terasa berdegup lebih kencang.
"Apa ada tamu kakek yang datang?" tanya Alvian dengan rasa penasaran, berusaha menenangkan dirinya.
"Tidak. Mungkin petugas medis," jawab Kakek Liam, yang duduk di sisi lain ruangan, mengamati Alvian.
Alvian beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu. Ketika ia membukanya, matanya terbelalak melihat tiga orang pria mengenakan seragam polisi berdiri di hadapannya.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Alvian, suaranya sedikit cemas, namun berusaha terdengar tenang.
Salah satu petugas polisi yang paling tua di antara mereka mengeluarkan sebuah kartu identitas dan menunjukkan dengan tegas. "Apa benar Anda bernama Alvian Fedrix Liam?" tanya polisi itu dengan suara datar dan tegas.
Alvian mengangguk pelan, hatinya mulai berdebar tak karuan. "Iya, saya sendiri."
Polisi itu menatapnya sejenak, sebelum mengeluarkan borgol dari balik saku jaketnya. "Kami menangkap Anda atas laporan tindakan kekerasan yang terjadi kemarin. Barang bukti berdasarkan hasil visum dan juga video yang beredar di media sosial, Anda terlibat dalam pemukulan yang menyebabkan korban mengalami luka berat."
Mata Alvian membelalak, mulutnya terasa kering.
BAB 42 Laila Merasa Hancur
Masalah demi masalah menumpuk. Kedua orang tua Laila juga sudah sampai di rumah sakit. Mereka mengkhawatirkan keadaan sang anak dan berita tentang menantunya juga sampai ke telinga mereka. Tapi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Laila membuka mata setelah tidur yang panjang. Perutnya masih terasa nyeri. "Ibu..." lirinya saat matanya melihat sosok ibunya.
"Iya, Nak. Ini ibu," jawabnya dengan suara hangat.
Air mata Laila mengalir begitu saja. Dia masih sulit mencerna semua yang terjadi. Rasa sakit, ketakutan, serta kegelisahan mengguncang dirinya. Apalagi saat suaminya mengatakan bahwa didalam perutnya ada anak mereka. Laila awalnya tidak percaya, tapi perkataan suaminya dan dokter sangat meyakinkan. Anak mereka nyaris tidak bernyawa. Laila merasa gagal menjadi seorang ibu. Namun, melihat ibunya di sini, setidaknya memberinya sedikit ketenangan.
Ayah Laila berdiri di belakang, wajahnya penuh kecemasan. "Apa ada yang sakit, Nak?" tanyanya, suaranya penuh rasa kekhawatiran.
Laila mengangguk lemah. "Sedikit, Yah..." ucapnya lirih.
"Tidak apa-apa. Nanti sakitnya akan hilang." Ayah Laila mengusap pucuk kepala sang anak.
Dia melirik ke sekitar ruangan, hatinya dipenuhi keresahan. Dia tidak melihat keberadaan suaminya. Kemana Alvian? Biasanya setiap Laila membuka mata, Alvian ada disampingnya. Dia akan langsung menenangkan Laila dengan kata-kata manis.
"Ibu..."
"Iya, Nak. Kenapa?"
"Mas Alvian mana?" tanyanya.
Ibu dan ayahnya saling berpandangan, ragu untuk menjawab. Mereka juga tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Laila tidak boleh banyak pikiran.
Ayah Laila menghela napas panjang sebelum akhirnya tersenyum tipis. Dia menatap putrinya dengan lembut, meskipun ada kegelisahan yang berusaha disembunyikan di balik tatapannya.
"Alvian sedang ada pekerjaan penting, Nak," ucapnya pelan. "Untuk sementara waktu, dia akan sibuk, jadi biar Ibu dan Ayah yang menemanimu di sini."
Laila mengerutkan kening. Ada sesuatu yang aneh dari jawaban ayahnya. "Pekerjaan? Tapi kenapa Mas Alvian tidak memberitahuku sebelumnya?" tanyanya, suaranya sedikit melemah karena kondisi tubuhnya yang belum pulih sepenuhnya.
Ibu Laila buru-buru menyentuh tangannya, berusaha menenangkannya. "Mungkin dia tidak ingin membuatmu khawatir, sayang. Yang penting sekarang kamu fokus sembuh dulu, ya?" katanya dengan suara lembut.
Namun, perasaan tidak tenang terus menghantui Laila. Dia mengenal Alvian. Suaminya bukan tipe yang akan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun kepadanya, apalagi di saat dirinya dalam kondisi seperti ini.
"Ayah, ibu... kalian tidak menyembunyikan sesuatu dariku, kan?" tanya Laila dengan tatapan penuh curiga.
Ayah Laila terkekeh kecil, berusaha membuat suasana tetap ringan. "Tentu saja tidak, Nak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nak Alvian hanya sedang sibuk. Dia pasti akan segera kembali begitu pekerjaannya selesai."
Laila menatap ayahnya dalam-dalam. Sesuatu terasa tidak beres, tapi tubuhnya yang masih lemah tidak bisa memaksa dirinya berpikir lebih jauh. Akhirnya, dia menghela napas pelan dan mengangguk.
"Baiklah," gumamnya.
Laila tidak boleh banyak pikiran. Dia harus tenang. Kehamilan membuat Laila tidak ingin mengkonsumsi obat penenang. Dia takut obat itu akan membahayakan janin. Meskipun ada dokter yang mengawasi, tetap saja Laila takut.
Sebenarnya Laila masih gelisah. Dia juga takut kalau Ethan benar-benar menyebarkan video saat menyekap dan melecehkan dirinya. Namun Laila hanya bisa menangis. Dia berusaha untuk beristighfar dan membuang hal-hal yang dapat mengingatkan dirinya pada kejadian mengerikan itu. Salah satunya adalah ponsel. Laila tidak melihat ponselnya sama sekali. Mungkin Alvian sudah menyimpannya.
Anaknya lebih penting dari apapun. Itulah yang Laila tanamkan didalam dirinya.
Disisi lain, Rasanya Alvian ingin tertawa. Berani-beraninya Ethan membuat laporan. Seharusnya dia tidak berbaik hati dengan membiarkan Ethan hidup. Manusia sampah itu tidak pantas hidup di dunia ini. Alvian mengepalkan tangan. Dia tidak bisa kemana-mana dan hanya berada di kantor polisi. Pihak kepolisian meminta keterangan dan Alvian menjawab apa adanya. Dia juga mengaku bahwa dialah yang memukul Ethan. Tapi dia punya alasan melakukan namun. Meskipun begitu, di depan hukum, Alvian memang sudah melakukan tindakan kekerasan.
Kakek Liam sudah menyewa pengacara paling mahal di negeri ini. Dia tidak peduli berapapun uang yang keluar asal cucunya tidak dipenjara. Apalagi kondisi Laila masih belum stabil.
Kakek benar-benar sibuk sehingga dia tidak bisa ke rumah sakit hanya sekedar untuk menemui cucu menantunya. Di usia tua, kakek harus membereskan masalah yang tidak sepele. Dia harus membungkam beberapa media yang menjelekkan cucunya.
Kakek Liam memanfaatkan media milik perusahaannya sendiri untuk menyebarkan informasi mengenai alasan kenapa Alvian sampai memukul anak dari calon presiden yang diprediksi akan memperoleh suara terbanyak pada pemilihan tahun ini.
Memang tidak mudah, apalagi pihak Kakek Liam tidak menemukan bukti yang kuat sehingga publik sulit untuk percaya. Apalagi pergerakan pendukung fanatik calon presiden membuat opini jika kasus ini hanyalah pesanan dari pihak lawan yang ingin menjelekkan Pak Hardi. Sungguh sulit melawan orang yang punya sifat licik dan juga power.
Di depannya sudah ada beberapa pengacara dan orang-orang suruhannya. Mereka semua ahli dalam berbagai bidang. Termasuk mencari bukti perlakuan Ethan 9 tahun yang lalu.
"Ada apa?" tanya Kakek Liam sambil melepas kacamatanya.
"Maaf, Pak Liam. Tadi pagi saya baru saja mendapat kunjungan dari perwakilan keluarga Pak Hardi. Mereka ingin mengajukan perdamaian saja sehingga masalah ini selesai dengan perdamaian."
Kakek tertawa sinis. "Kesepakatan apa yang dia inginkan?"
"Dia meminta Pak Liam memberikan dukungan secara terang-terangan kepada calon presiden nomor urut pertama. Kemudian Pak Liam harus menunjukkan kemesraan dengan pak Hardi di depan umum. Jika setuju, maka laporan akan langsung dicabut."
Kakek Liam mengepalkan tangan. "Tidak! Saya tidak mau mendukung sampah itu."
Mana mungkin Kakek Liam mau mendukung ayah dari anak yang sudah membuat cucu menantunya menderita dan mengalami trauma yang bisa terjadi seumur hidup. Mereka harus hancur dan mempertanggung jawabkan semuanya.
"Baik, Pak." Para pengacara membebaskan segala keputusan kepada Kakek Liam.
"Apa tidak ada bukti lain yang ditemukan?" tanya Kakek Liam. Dia tidak bisa menunggu lebih lama.
"Sulit, Pak. Kejadian sudah 9 tahun yang lalu. Bukti visum yang merupakan bukti valid dan sangat kuat juga tidak ada," ujar pencari bukti.
Kakek Liam bertambah pusing.
"Bisakah saya bertemu dengan ayah Bu Laila, Pak?" tanya salah satu pengacara.
"Tentu saja."
"Terima kasih, Pak. Saya ingin memastikan sesuatu."
Kakek Liam menyuruh seseorang untuk menjemput Ayah Laila. Mereka menunggu di ruangan pertemuan yang memang bersifat rahasia. 1 jam kemudian, Ayah Laila yaitu Pak Rahmat datang.
"Selamat siang, Pak."
"Siang," balas Pak Rahmat. Dia membalas uluran tangan dari seseorang yang menyapanya.
"Saya ingin menanyakan beberapa hal. Apa Pak Rahmat keberatan?"
Ayah Laila langsung menggeleng. Mana mungkin dia keberatan, apalagi untuk menjebloskan pelaku pemerkosa anaknya.
"Saat anak Bapak menghilang 9 tahun lalu, apa Bapak ingat melapor ke kantor polisi mana?"
Ayah Laila mengganggu. Dia langsung mengatakan nama kantor polisinya. Dia tidak akan melupakan apapun yang berhubungan dengan kasus 9 tahun yang lalu.
"Sejak melapor, berapa lama polisi berhasil menemukan keberadaan Bu Laila?"
"Tiga hari, Pak."
"Maaf jika pertanyaan ini membuat membuat Bapak tidak nyaman."
"Tidak apa-apa, Pak. Silahkan saja," ujar Ayah Laila.
"Bagaimana kondisi Bu Laila saat ditemukan?"
Ayah Laila terdiam sejenak. Tampaknya dia memang tidak nyaman, namun dia harus menjelaskan agar bisa memberikan petunjuk-petunjuk yang mungkin penting. Meskipun berat, ayah Laila menjelaskan dengan baik bagaimana kondisi Laila saat itu.
"Baik, Pak. Terima kasih." Pengacara mengucapkan terima kasih. Dia menemukan petunjuk yang luar biasa. Pasti hasil visumnya ada, tapi ada yang memang menutupi kasus ini sehingga tidak diproses lebih lanjut.
***
Selama beberapa hari, Laila tidak kunjung melihat suaminya sendiri. Apalagi Laila sudah diperbolehkan untuk pulang. Laila ditemani Ayah dan ibu selama Alvian tidak ada. Laila sudah berkali-kali bertanya, ayah dan ibu selalu menjawab jika suaminya sedang sibuk dengan pekerjaan dan tengah dinas ke luar negeri. Laila merasa ada yang aneh. Kalau memang sedang dinas ke luar negeri, harusnya sang suami tetap mengirim pesan. Apalagi Laila merindukan dirinya. Sedang hamil begini dan butuh perhatian, Alvian malah tidak ada. Bahkan Laila sering menangis karena ingin bertemu dengan suaminya itu.
Laila ingin menghubungi suaminya. Tapi ibu dan ayahnya melarang, bahkan kakeknya juga. Mereka seperti ingin menjauhkan Laila dari Alvian.
Dimalam ini Laila kembali menangis. Dia menangis tanpa suara sambil mengusap perutnya sendiri. Ibunya tidur disamping Laila untuk menemani dirinya. Sedangkan ayah tidur di kamar lain.
Tangis Laila semakin dalam. Dia merindukan Alvian, merindukan sentuhan hangat suaminya yang selalu ada disisinya. Perasaan ini semakin menyakitkan karena tidak ada satupun orang memperbolehkan dirinya untuk menghubungi Alvian.
Laila turun dari ranjang dengan hati-hati, memastikan gerakannya tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan ibunya. Matanya masih basah karena tangisan yang tertahan. Dia menggigit bibir, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Dengan langkah pelan, dia keluar dari kamar. Udara malam terasa dingin, menembus kain tipis piyama yang dikenakannya. Dia menghela napas panjang saat tiba di dapur dan meraih gelar untuk mengambil air. Tenggorokannya terasa kering, seolah semua kesedihan yang ditahan menghabiskan setiap tetes air dalam tubuhnya.
Setelah meneguk beberapa teguk, dia melangkah menuju ruang keluarga. Tidur sudah tidak mungkin untuknya malam ini. Rasa gelisah terus menggerogoti pikirannya. Dia mengambil remote dan menyalakan televisi, berharap ada sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya meski hanya sesaat.
Namun, begitu layar menyala, wajah suaminya langsung muncul di layar televisi.
"Berita terpanas minggu ini, kasus pemukulan yang melibatkan cucu dari pemilik Liam Grup semakin memanas. Alvian Fedrix Liam, tersangka utama dalam kasus ini, resmi ditahan atas laporan Ethan Nathaniel, putra calon presiden nomor urut satu..."
Laila membeku.
Tangannya yang memegang gelas gemetar hebat.
"Polisi telah mengumpulkan bukti-bukti dari video yang beredar di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat jelas Alvian melakukan pemukulan terhadap Ethan di salah satu klub malam. Saksi mata mengatakan bahwa kejadian itu terjadi akibat pertikaian pribadi di antara keduanya..."
Suara pembawa berita seakan menggema di kepala Laila. Nafasnya memburu, jantungnya berdetak tidak karuan.
"Tidak mungkin..." gumamnya.
PRAANG!
Gelas yang dipegangnya jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping.
Suara itu begitu keras di tengah keheningan malam, membangunkan seluruh penghuni rumah.
BAB 43 Tidak Ingin Menjadi Lemah
Mau disembunyikan bagaimanapun, semua akan terbongkar juga. Laila sangat terkejut. Dia sampai tidak sadarkan diri karena melihat berita tentang suaminya sendiri. Alvian tidak dinas ke luar negeri, namun malah masuk ke dalam penjara. Ternyata suaminya sudah tahu penyebab trauma dan siapa pelakunya.
Sekarang Laila sudah ada di kantor polisi untuk bertemu dengan suaminya. Laila sampai memohon-mohon kepada kedua orang tua serta kakek agar diizinkan untuk bertemu suaminya. Laila mengerti, mereka tidak mau membuat Laila memiliki banyak pikiran sehingga memilih untuk menyembunyikan apa yang terjadi. Namun Laila berhak tahu. Dia kira sang suami menikmati waktu sendiri di luar negeri, padahal Alvian sangat menderita di dalam penjara.
Laila menunggu di ruang kunjungan. Dia menunggu sang suami keluar. Saat suaminya keluar, Laila seakan tidak bisa untuk sekedar berkata-kata. Seketika tubuhnya membeku.
"Laila..." suara Alvian nyaris tidak terdengar.
Matanya membelalak saat melihat istrinya. Mata Laila sembab, bibirnya bergetar, dan tubuhnya gemetar. Meskipun wajah sang istri ditutupi cadar, namun dari matanya terlihat jelas. Bahkan sebelum dia bisa mengatakan apapun, air mata Laila sudah jatuh membasahi pipinya.
"Mas..." suara Laila pecah saat langkahnya maju dengan gemetar.
Alvian langsung mendekat. Ada banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi melihat Laila dalam kondisi seperti ini membuat dadanya sesak.
Laila menangis semakin keras begitu melihat Alvian dalam kondisi yang jauh dari kata baik. Suaminya tampak lebih kurus, wajahnya lelah, dan ada bekas luka samar di sudut bibirnya.
Alvian memeluk sang istri. "Tidak apa-apa, Sayang. Aku baik-baik saja."
Laila menggenggam erat kemeja tahanan yang dikenakan Alvian, tubuhnya masih bergetar hebat. Isakannya terdengar menyayat hati, memenuhi ruangan sempit itu dengan kepedihan yang begitu dalam.
"Mas tidak baik-baik saja," Laila terisak. "Lihat diri Mas... kenapa bisa seperti ini?" Laila menatap wajah sang suami. Tangan Laila gemetaran. Dia merindukan Alvian, sangat rindu.
Alvian mencoba untuk tersenyum, sebenarnya hatinya sangat sakit melihat Laila sampai menangis seperti ini. "Kamu tidak boleh banyak pikiran, pikiran tentang anak kita."
Alvian mengusap perut sang istri. "Kenapa Mas memukul sampah itu?"
"Mas tidak perlu mengotori tangan Mas," lanjut Laila lagi. Tubuhnya bergetar hebat. "Maafkan aku," lirih Laila.
"Semua suami akan melakukan hal yang sama, Sayang. Kamu tidak perlu menyalahkan diri."
Laila semakin terisak.
"Tenang saja, Kakek akan berusaha untuk membuat sampah itu membayar semuanya. Kamu hanya perlu makan dan istirahat dengan baik."
Laila menggeleng. Bagaimana mungkin dia bisa makan dan istirahat dengan baik. Suaminya saja tidak tahu apakah bisa makan atau tidak.
Alvian membawa Laila duduk. Dia kemudian berjongkok sambil mengusap air mata sang istri.
"Laila, dengarkan aku," suara Alvian lembut, meski wajahnya menunjukkan kelelahan yang luar biasa. "Aku butuh kamu untuk tetap kuat. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk anak kita."
Laila menggigit bibirnya, menahan isakan yang masih terus keluar. "Tapi Mas di sini, sendirian... Aku tidak bisa tenang!"
Alvian tersenyum tipis, meski ada kepedihan di matanya. "Aku tidak sendirian. Aku tahu kamu selalu bersamaku, meski kita terpisah. Aku kuat, Sayang. Aku hanya butuh kamu percaya padaku."
Laila terisak lagi, menundukkan kepala. "Aku takut, Mas... Aku takut kalau mereka akan menyakiti Mas lebih dari ini..."
Alvian mengusap perut istrinya, berusaha menenangkan. "Jangan takut. Aku pernah berjanji akan melindungimu, kan? Dan aku akan selalu menepati janji itu. Aku juga akan melindungi anak kita."
Sebelum jam kunjungan habis. Laila sudah membawa makanan. Dia ingin makan bersama suaminya. Alvian berusaha untuk tetap tegar. Dia tidak boleh terlihat lemah.
"Suapin," ujar Alvian dengan manja. Laila tersenyum kecil. Dia tidak menolak dan langsung menyuapi sang suami.
"Gimana? Apakah enak?"
Alvian mengangguk. "Apa kamu masak sendiri?"
"Iya, Mas pasti rindu masakan aku."
"Ya ampun, Sayang. Kamu tidak boleh kelelahan." Alvian tidak ingin sang istri kelelahan.
"Aku tidak lelah kok. Aku malah senang-senang aja."
Alvian menatap Laila dengan lembut. Dia tahu istrinya pasti melakukan ini dengan sepenuh hati, tapi tetap saja, dia tidak ingin Laila terlalu memaksakan diri.
"Terima kasih, Sayang."
Alvian benar-benar memanfaatkan durasi kunjungan sang istri. Dia tidak membuat waktu terbuang sia-sia. Sebenarnya selain Laila, Dylan dan pengacaranya sering datang berkunjung. Alvian berharap semua selesai dengan mudah. Dia tidak memikirkan tentang dirinya sendiri. Namun Alvian ingin Ethan mendapat hukuman yang berat nantinya.
Laporan juga sudah dibuat dan polisi sedang melakukan penyelidikan lebih lanjut. Kasus 9 tahun lalu tidak diproses pasti karena Pak Hardi yang membungkam para penyidik. Apalagi keluarga Laila tidak punya uang yang banyak untuk melawan. Tapi sekarang berbeda, Laila adalah menantu dari pemilik perusahaan Liam Grup. Maka jangan sepelekan hal itu.
Setelah menjenguk sang suami, Laila tidak pulang. Dia ingin menemui kakek di perusahaan induk Liam Grup. Dia hanya mendapat gambaran umum saja bagaimana proses yang sudah berjalan. Laila tidak boleh lemah. Dia bahkan tidak peduli jika memang Ethan menyebarkan video pemerkosaan itu. Dia adalah korban, Ethan lah yang harusnya mendapat hukuman sosial dari orang-orang, bukan dirinya.
Dulu Laila terlalu takut. Dia merasa kotor, tapi karena perkataan sang suami yang selalu menekankan bahwa dia adalah korban dan korban tidak pernah salah, maka Laila berusaha tegar dan tidak membenci diri sendiri.
Laila tidak mau, 9 tahun usahanya bangkit dari trauma menjadi sia-sia. Apalagi 9 tahun bukan waktu yang sebentar.
Keamanan Laila diperketat, bahkan ada lima sampai 10 bodyguard yang mengawal dirinya.
Baru sampai di lingkungan perusahaan, Laila sudah melihat begitu banyak wartawan dari berbagai media di depan perusahaan kakek. Tampaknya mereka mencari informasi demi informasi yang melibatkan dua orang yang tidak biasa.
Laila masuk melalui pintu khusus sehingga tidak ada yang menghalangi. "Silahkan, Bu..." pengawal Laila membuka pintu dan selalu berada di dekat Laila.
Beberapa karyawan melihat Laila, namun mereka hanya sekedar melihat saja. Kakek sudah menunggu Laila.
"Ada apa, Nak?" tanya Kakek sambil menyambut kedatangan Laila.
"Apa Kakek baik-baik saja?" Bukannya menjawab, Laila malah balik bertanya. Kakek tersenyum. "Tentu saja," jawabnya.
Kakek mengarahkan agar Laila duduk. Apalagi didalam perut Laila ada cicitnya.
"Ada apa sampai datang ke sini? Padahal nanti Malam kakek ingin ke rumah kamu, Nak."
Laila menarik nafas dalam-dalam. "Apa tidak ada cara agar Mas Alvian bebas, Kek?" tanyanya.
Kakek terdiam.
"Tolong katakan ada Kek," mohon Laila.
"Laila... Maafkan kakek."
Laila menggeleng. "Kakek tidak perlu minta maaf. Kakek tidak salah."
"Pihak sana menawarkan perdamaian," jelas kakek dengan ragu. "Tapi Alvian menolaknya," lanjutnya lagi.
"Kenapa?"
"Alvian tidak akan mau berdamai sampai kapanpun. Tujuan Alvian adalah membuat sampah itu mendapat hukuman berat."
Laila menunduk dalam. Apa gunanya Ethan dihukum jika suaminya juga masuk penjara? Dada Laila semakin terasa menyesakkan. Nafasnya bahkan menjadi tidak beraturan.
"Kamu kenapa, Nak?" Kakek khawatir. Laila menggeleng. "Tidak apa-apa, Kek. Aku baik-baik aja."
Laila menarik nafas dalam-dalam kemudian dihembuskan secara perlahan-lahan. Dia harus tenang dan tenang. Tapi rasanya sulit sekali.
"Apa tidak ada cara lain, Kek?" tanya Laila.
"Menurut pengacara, ada yang bisa dilakukan untuk meringankan hukuman Alvian atau bahkan membebaskannya."
"Apa Kek?"
"Mengambil dukungan dari seluruh masyarakat. Jika masyarakat mendukung Alvian, maka hukumannya bisa ringan atau bahkan dibebaskan."
"Bagaimana cara mendapat simpati dari masyarakat?"
"Maaf Laila... Kakek merasa itu bukan pilihan yang bagus." Kakek mengatakan dengan berat hati.
"Tidak, Kek. Katakan bagaimana caranya?" Laila akan melakukan apapun.
"Mempublikasikan apa yang sebenarnya terjadi 9 tahun lalu. Kamu harus menceritakannya secara langsung."
Deg! jantung Laila berdetak dengan cepat.
Laila menelan ludah, hatinya berdegup kencang. Ketakutan menguasainya, tapi di sisi lain, ada keberanian yang perlahan muncul. Jika dia tetap diam, Alvian akan terus disalahkan. Jika dia berbicara, mungkin orang-orang akan melihat kebenaran.
Dia mengangkat wajahnya, menatap kakeknya dengan sorot mata penuh tekad. "Aku akan melakukannya, Kek."
Kakek Liam terkejut. "Laila..."
"Aku takut, sangat takut," suara Laila bergetar, tapi genggaman tangannya di pangkuan semakin erat. "Tapi lebih dari itu, aku tidak bisa membiarkan Mas Alvian menanggung semua ini sendirian. Sudah cukup aku bersembunyi dalam ketakutan selama sembilan tahun. Aku harus melawan."
Kakek menghela napas panjang, matanya menatap cucunya dengan penuh kebanggaan sekaligus kekhawatiran. "Kakek tahu ini bukan hal yang mudah untukmu."
"Tidak ada yang mudah dalam hidup ini, Kek." Laila mengusap perutnya dengan lembut. "Tapi aku harus melakukan ini. Bukan hanya untuk Mas Alvian, tapi juga untuk diriku sendiri, untuk anak kami."
Kakek Liam mengangguk pelan. "Baiklah, Nak. Jika ini keputusanmu, Kakek akan mendukungmu. Kita akan mengadakan konferensi pers. Kakek akan memastikan keamanannya."
Laila menarik napas dalam. Dia tahu, begitu dia berbicara, tidak akan ada jalan kembali. Tapi kali ini, dia siap menghadapi dunia. Dia tidak akan merasa malu lagi karena dia adalah korban. Korban harus dilindungi, dan diberi semangat. Bukan malah dikucilkan, apalagi disalahkan.
***
Konferensi pers yang bertujuan mendapat simpati masyarakat akan berlangsung sebentar lagi. Konferensi ini diadakan di kantor media Liam grup. Kakek Liam membuat agenda ini akan dikenal di seluruh lapisan masyarakat. Hampir semua channel televisi menayangkannya. Live juga bisa dilihat dari youtube, instagram dan facebook. Semua media sosial digunakan. Laila berusaha menguatkan diri.
"Jika sulit, kita bisa membatalkannya," ujar kakek.
Laila menggeleng. "Aku bisa, kek. Tolong percaya padaku."
Ayah dan Ibu Laila juga mendukung keputusan Laila. Semua orang harus tahu perbuatan keji dari manusia sampah yang kini hidup seperti tidak ada dosa sama sekali.
Laila masuk bersama kakek ke ruang konferensi. Begitu banyak kamera yang mengarah padanya. Tubuh Laila sangat gemetaran. Namun kakek berusaha menguatkan sehingga Laila seperti punya banyak dukungan.
Laila duduk di kursi yang telah disediakan, tangannya mengepal di atas pangkuannya. Sorotan kamera, mikrofon, dan tatapan tajam para wartawan membuat jantungnya berdebar semakin kencang. Namun, ketika mengingat Alvian yang kini berada di dalam jeruji besi karena melindunginya, tekadnya semakin kuat.
Kakek Liam mengambil mikrofon lebih dulu. "Terima kasih kepada semua yang hadir di sini. Hari ini, menantu cucu saya, Laila, ingin menyampaikan sesuatu yang selama ini dia pendam."
Semua orang menunggu. Begitu mikrofon berpindah ke tangannya, Laila menarik napas dalam. Dia harus melakukannya.
"Suami saya, Alvian Fedrix Liam, bukan seorang kriminal. Dia bukan orang yang tega menyakiti seseorang tanpa alasan," suara Laila terdengar pelan di awal, tapi cukup jelas untuk terdengar di seluruh ruangan. "Apa yang dilakukan suami saya adalah tindakan refleks seorang pria yang ingin melindungi istrinya. Dan istrinya itu adalah saya."
Ruangan mendadak hening.
Laila menatap ke arah kamera, ingin memastikan bahwa semua orang yang menonton siaran ini bisa melihat keteguhannya. "Ethan yang merupakan anak dari calon presiden bukanlah seorang korban. Tapi dia adalah orang yang menghancurkan hidup saya sembilan tahun lalu."
Terdengar bisik-bisik di antara wartawan, tapi Laila tidak peduli. Dia merogoh ponselnya, kemudian meletakkannya di atas meja. "Selama ini saya diam. Saya takut. Tapi kali ini, saya tidak bisa tinggal diam sementara suami saya dipenjara karena membela saya."
Laila mengetuk layar ponselnya beberapa kali, lalu menampilkan serangkaian pesan yang pernah dikirim Ethan kepadanya. Kakek Liam sudah memastikan bahwa semua bukti ini telah diverifikasi agar tidak ada yang bisa menyanggahnya.
"Ini adalah pesan dari dia." Laila memutar layar ke arah kamera agar semua orang bisa melihat. Tim media Liam Grup telah menyiapkan layar besar di belakangnya agar setiap pesan yang ditampilkan di ponselnya bisa dilihat semua orang. Dimana Ethan mengancam akan menyebarkan video pemerkosaan yang terjadi 9 tahun lalu.
"Pihak polisi sudah melakukan penyelidikan untuk memastikan bahwa nomor itu memang berasal dari pelaku."
Tentu saja semua yang melihat konferensi secara langsung atau melalui media sangat terkejut. Beberapa wartawan mulai sibuk mengabadikan pesan tersebut. Laila menarik napas, menahan gemetar di tangannya.
"Saya menerima pesan ini sebelum pemukulan itu dilakukan. Suami mana yang tidak marah ketika istrinya mendapat ancaman yang membuat traumanya kambuh."
Sorot mata Laila kini tajam. "Ethan bukan korban. Dia adalah pelaku. Dia yang seharusnya dipenjara, bukan suami saya.
Laila menarik nafas terlebih dahulu sebelum melanjutkan.
"9 tahun yang lalu. Saya disekap dan-" Laila berhenti berbicara. Terlalu berat, seperti membuka luka yang lama kembali. "Saya diperkosa oleh Ethan, " lanjutnya.
Semua yang mendengar terkejut luar biasa.
"Saya disekap selama 1 minggu. Hal ini terjadi saat saya kuliah dan Ethan adalah senior saya. Dia menunjukkan rasa suka yang tidak normal kepada saya. Saya sudah menolaknya secara baik-baik karena tujuan saya dari desa ke kota hanya untuk menuntut ilmu. Tapi Ethan tidak terima. Setelah penolakan, dia menguntit saya. Dia bahkan beberapa kali bertindak kasar kepada saya. Teman-teman kuliah saya pasti tahu tentang ini. Mereka bahkan melindungi saya dari Ethan. Saya tidak nyaman untuk tinggal di kosan sehingga memilih pindah ke asrama. Di sana saya merasa lebih aman. Tapi Ethan tidak berhenti. Sampai pada akhirnya, dia mengancam teman satu asrama saya. Teman satu asrama saja tidak bisa menolak hal itu. Saya yakin dia juga ketakutan karena diancam oleh Ethan. Saya dijebak dan langsung dibawa ke apartemen mengerikan. "
Ruangan konferensi pers menjadi hening. Hanya suara napas tercekat dan bisikan pelan yang terdengar dari beberapa wartawan yang tak menyangka dengan pengakuan Laila.
Tangan Laila mencengkeram ujung bajunya erat, mencoba mengendalikan emosinya. Ini adalah luka yang selama ini ia pendam sendiri. Luka yang ia kubur dalam-dalam.
"Saat kedua orang tua saya membuat laporan hilang, 3 hari kemudian saya ditemukan. Selama 1 minggu, saya mendapat perlakuan yang mengerikan. Saat itu saya tidak mengerti dengan proses hukum. Tidak ada kejelasan karena Ethan berhasil kabur. Namun saat itu, apartemen memiliki banyak bukti bahkan saya yakin polisi menemukan sidik jari Ethan disana. Tapi sayangnya, Polisi saat itu tidak memproses lebih lanjut. Saya justru dipanggil berkali-kali, diinterogasi seolah-olah saya yang bersalah. Mereka menyuruh saya mencabut laporan. Dan yang lebih buruk lagi..."
Laila berhenti sejenak, menatap lurus ke arah kamera. Ia ingin semua orang yang menonton melihat matanya. Melihat betapa besar rasa sakit yang ia tanggung selama ini.
"Saya diancam oleh orang yang tidak dikenal. Tapi saya yakin dari pihak Ethan yang tidak ingin masalah ini diketahui publik luas. Jika saya tetap memaksa melanjutkan penyelidikan, mereka akan membunuh keluarga saya."
Beberapa wartawan yang mendengar pernyataan itu langsung berseru kaget. Kilatan kamera semakin banyak.
"Saya takut. Saya tidak punya siapa-siapa di kota ini. Saya tidak bisa meminta perlindungan dari siapapun. Bahkan pihak kepolisian, yang seharusnya melindungi saya, justru membiarkan pelaku berkeliaran bebas." Laila mengepalkan tangannya. "Saya memutuskan untuk menghilang. Saya putus kuliah, saya meninggalkan semuanya. Saya kembali ke desa, berharap bisa melupakan semuanya. Tapi saya tidak pernah benar-benar bisa melupakan."
Laila menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang sudah di ambang batas. "Dan sekarang, orang yang menghancurkan hidup saya justru berpura-pura menjadi korban. Dia bahkan masih berani mengancam saya setelah bertahun-tahun. Jika bukan karena suami saya, saya mungkin sudah mengalami kejadian yang sama seperti dulu. Tapi lihat apa yang terjadi? Suami saya malah dituduh sebagai pelaku kekerasan, padahal dia hanya ingin melindungi istrinya."
Laila
menyapu pandangan ke seluruh ruangan. "Saya tahu, saya mungkin akan
mendapat banyak pertanyaan, banyak komentar dari orang-orang. Tapi saya
tidak peduli. Saya sudah diam selama sembilan tahun. Kali ini, saya
tidak akan diam lagi. Saya adalah korban dan Ethan adalah pelaku. Saya
harap korban pelecehan dan pemerkosaan di luar sana tidak terus diam
karena takut disalahkan atau disudutkan. Korban adalah korban dan jangan
pernah menjadikan korban sebagai pelaku. Jika kita diam, maka keadilan
tidak akan didapatkan."
BAB 44 Simpati Masyarakt
Dukungan dari masyarakat berdatangan. Bahkan ada petisi agar Alvian segera dibebaskan. Kejahatan sesungguhnya adalah Ethan. Kasus ini tidak hanya menarik perhatian beberapa orang, namun hampir di seluruh lapisan masyarakat. Lawan politik Pak Hardi juga tidak menyia-nyiakan momen ini. Tentu saja semua punya tujuan masing-masing. Tapi setidaknya tujuan diadakan konferensi pers sudah tercapai. Tidak hanya petisi, banyak demo yang muncul. Kasus pelecehan lainnya juga menguap di permukaan. Pihak polisi tersudutkan karena tidak menyelesaikan masalah ini.
Kepala Kepolisian pusat sudah menurunkan surat perintah bahwa kasus ini harus segera ditangani supaya citra polisi tidak semakin buruk di kalangan masyarakat.
Ethan yang menjadi pelaku pengancaman, penguntitan, pemerkosaan dan penyiksaan sudah ditangkap. Bukti-bukti yang dulunya tenggelam mulai muncul dipermukaan. Bahkan komentar di sosial media tidak terbendung terutama teman-teman kuliah Laila dan Ethan.
Ethan tidak hanya membuat satu masalah ini saja, tapi dia juga pernah melakukan kekerasan kepada orang lain.
Apartemen Ethan langsung digrebek. Disana polisi menemukan bukti bagaimana Ethan terobsesi dengan Laila. Hukuman yang dia dapat tidaklah mudah. Bahkan hal yang paling mengejutkan yaitu kemunculan Bella sebagai saksi nantinya.
Meskipun begitu, Laila masih sangat kecewa kepada Bella. Dialah yang menjebak Laila hingga bisa terperangkap ke dalam permainan Ethan. Tampaknya Bella mau menjadi saksi dan dikecam berbagai kalangan masyarakat adalah sebagai bentuk rasa bersalahnya.
Proses yang terjadi kedepannya akan lebih panjang. Tapi setidaknya Ethan sudah ditangkap.
Hari ini adalah sidang untuk putusan atas laporan pemukulan yang dilakukan oleh Alvian. Begitu banyak tekanan dari masyarakat untuk melihat kasus ini dari berbagai sudut. Apa yang dilakukan Alvian adalah bentuk pembelaan terhadap istrinya sendiri yang mendapat pengancaman. Seluruh suami akan marah jika istrinya mendapat ancaman mengerikan seperti itu.
Suasana ruang sidang begitu tegang. Semua orang menunggu keputusan hakim dengan penuh harap. Alvian duduk di kursi terdakwa, mengenakan kemeja putih yang kini sedikit longgar di tubuhnya. Ia tampak lebih kurus, namun sorot matanya tetap tegas. Di sisi lain, Laila duduk bersama keluarganya. Tangannya mencengkeram erat lengan ibunya, menahan napas saat hakim mulai berbicara.
Hakim mengetuk palu sekali, membuat seluruh ruangan menjadi semakin hening.
"Setelah mempertimbangkan semua bukti, saksi, serta tekanan dari masyarakat yang menginginkan keadilan, pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Alvian Fedrix Liam, tidak akan dikenakan hukuman penjara."
Terdengar suara bisikan dari berbagai penjuru ruangan. Beberapa orang tampak terkejut, sementara sebagian lain mengangguk puas dengan keputusan tersebut.
"Namun demikian," lanjut hakim, "pengadilan tetap menjatuhkan sanksi berupa denda administratif sebesar 50 juta rupiah sebagai bentuk tanggung jawab atas tindak kekerasan ringan yang dilakukan."
Laila menghela napas lega, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ini jauh lebih baik daripada yang ia bayangkan. Alvian tidak akan dipenjara. Ia tidak akan terpisah dari suaminya lebih lama lagi.
Alvian sendiri hanya tersenyum tipis. Denda bukanlah masalah baginya, selama ia bisa bebas dan kembali ke sisi Laila.
Hakim mengetuk palu sekali lagi. "Sidang ditutup."
Begitu sidang selesai, Alvian langsung bangkit dari tempatnya. Laila buru-buru berlari menghampirinya dan langsung memeluk suaminya erat. "Kamu bebas, Mas..." suaranya bergetar penuh emosi.
Alvian mengusap kepala istrinya dengan lembut. "Iya, Sayang. Aku bebas." Alvian tidak menyangka istrinya akan berani untuk menceritakan hal mengerikan yang dia alami 9 tahun yang lalu. Tentu saja hal ini membuat Laila mendapat dukungan.
Kasus Ethan membuat nama ayahnya menjadi buruk. Apalagi Pak Hardi diduga menjadi orang yang berusaha menutupi kasus ini agar kejahatannya anaknya tidak diketahui publik. Banyak masyarakat yang marah. Bahkan saat Pak Hardi sedang menghadiri acara debat presiden. Dia mendapat kecaman dari masyarakat. Bahkan ada orang yang melemparinya dengan telur dan hal lainnya. Jelas sekali jika dia tidak akan bisa memenangkan pemilihan kali ini. Masyarakat sudah sangat geram. Komentar-komentar negatif bertebaran dimana-mana.
***
Laila tidak mau menjauh dari suaminya sama sekali. Mereka sudah lama berpisah karena proses hukum yang berlangsung. Lihat saja sekarang, Laila memeluk suaminya seperti anak kecil. Alvian hanya bisa tersenyum.
"Mas jadi kurus gini," ujar Laila sambil memegang pergelangan tangan Alvian.
"Kurus darimana?" Alvian membantah hal itu. Memang berat badannya berkurang. Apalagi meskipun dia berada di penjara, dia tetap memikirkan bagaimana membuat Ethan mendapat hukuman yang berat.
Laila menghela napas, lalu mengelus pipi suaminya dengan lembut. "Mas harus makan yang banyak, ya. Aku nggak mau lihat Mas segini lagi," ucapnya dengan suara sedikit serak.
Alvian tertawa kecil. "Iya, iya. Nanti Mas makan banyak, kamu juga harus makan yang banyak."
Laila tersenyum tipis, tapi air matanya masih menggenang. Ia menarik tangan Alvian dan menggenggamnya erat, seolah takut suaminya akan pergi lagi. "Aku nggak mau jauh dari Mas lagi," lirihnya.
Alvian mengangkat tangan istrinya dan mengecupnya lembut. "Mas juga nggak akan ninggalin kamu. Kita sudah melewati semua ini. Sekarang saatnya kita hidup tenang, Sayang."
"Apa Mas nggak merasa jijik sama aku?" Laila sudah menyimpan pertanyaan mengganjal ini. Apalagi dia pernah disentuh oleh orang lain dengan paksa dan mengerikan.
Alvian tersenyum. "Tidak, Sayang. Lupakan hal mengerikan itu. Kamu tidak perlu mengingat-ingatnya lagi."
"Tapi..."
"Sayang," potong Alvian langsung. "Kamu berharga," lanjutnya. Dia mencium telapak tangan sang istri berkali-kali.
"Terima kasih, Mas." Laila mengatakan dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, Sayang."
"Oh ya, aku sampai lupa." Laila segera bangkit dari pangkuan sang suami.
"Apa?" Alvian mengerutkan kening.
Laila berlari mengambil sesuatu di dalam laci. Kemudian dia menunjukkan kepada sang suami. "Kok buku ini adalah sama Mas?" tanyanya penasaran. Laila menemukan di dalam lemari. Awalnya dia terkejut kenapa buku miliknya malah ada ditangan sang suami. Buku tersebut sudah hilang 9 tahun yang lalu. Laila sudah mencari kemana-mana dan tidak bisa menemukannya.
Alvian tersenyum. "Ayo tebak... Kenapa?"
Dahi Laila mengerut. Dia tampak berpikir keras.
Alvian jadi tertawa sendiri. "Aku dapatin buku ini dari Bella," jelas Alvian.
"Ha?" Laila terkejut. "Kenapa bisa?"
"Aku juga nggak tau. Tapi dia bilang kalau buku itu dari didapat dari tempat sampah."
Laila menggeleng. Buku yang ada di tangannya ini benar miliknya, tapi dia tidak pernah membuangnya sama sekali. Bahkan Laila menyimpannya dengan hati-hati karena pemberian dari seseorang yang sangat dia kagumi.
"Ini buku aku kok, tapi aku nggak pernah buang." Laila membuka isi untuk memastikan bahwa buku itu memang miliknya.
"Mungkin dia mengambil tanpa sepengetahuan kamu," tebak Alvian.
"Bisa jadi sih... Padahal aku mencarinya kemana-mana." Laila memeluk buku itu.
"Emang buku itu dari siapa?" tanya Alvian pura-pura tidak tahu.
Laila menutupi wajahnya.
"Dari siapa, Sayang?" tanya ALvian lagi.
"Apa Mas amnesia?" lirih Laila malu-malu.
Alvian bangkit dari ranjang. Matanya sedikit melebar. "Kamu tahu buku itu dari aku?"
Laila mengangguk.
Kaki Alvian melemas. "Apa kamu tau kalau orang dibalik nama samaran Lumina adalah aku?"
Laila kembali mengangguk.
Alvian terdiam, dadanya terasa sesak oleh berbagai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. "Sejak kapan kamu tahu?" tanyanya dengan suara serak.
Laila menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum menjawab. "Sejak 9 tahun yang lalu. Saat itu kita sepakat bertemu, tapi aku tidak jadi datang padahal aku datang. Saat itu aku tahu kalau orang dibalik nama Lumina adalah laki-laki."
"Ya Allah, Sayang. Kamu benar-benar..." Alvian tidak sanggup berkata-kata lagi.
Alvian mengusap wajahnya, merasa begitu emosional dengan pengakuan Laila. Selama ini, dia pikir Laila tidak pernah menyadari identitasnya sebagai Lumina. Namun, kenyataan bahwa istrinya telah mengetahuinya sejak lama membuat hatinya bergetar hebat.
"Kamu datang saat itu?" Alvian bertanya, suaranya bergetar. "Tapi kenapa kamu tidak menemuiku?"
Laila menunduk, menggenggam buku itu lebih erat. "Aku melihat Mas dari kejauhan... tapi saat itu aku takut karena pada awalnya aku kira Mas perempuan."
"Sayang... Aku sampai tidak tau harus berkata apa lagi." Alvian sangat syok. Jika mereka jadi bertemu saat itu, mungkin Alvian tidak akan seperti orang gila mencari Laila selama 9 tahun. Dia juga tidak akan mudah dibohongi oleh Bella yang mengaku-ngaku sebagai perempuan yang dia cari selama ini hanya karena menculik buku milik Laila.
"Aku seperti orang bodoh yang nggak mengenali kamu," lanjutnya lagi.
Laila menggeleng. "Tidak, Mas. Wajar kalau Mas nggak mengenalku."
"Jadi kamu menerima perjodohan kita karena sudah tahu siapa aku?"
"Iya. Awalnya aku kira hanya mirip saja, ternyata Mas orang yang sama. Tapi..." Laila berhenti sejenak. Wajahnya mendadak sedih. "Mas bilang mencintai perempuan lain," lanjutnya.
Alvian langsung memeluk istrinya dengan erat. "Kamu yang aku cintai itu, Laila. Sosok perempuan yang 9 tahun lalu sering berkirim pesan denganku. Aku sudah mencarimu selama 9 tahun."
Ternyata
takdir tidak bisa ditebak sama sekali. Alvian tidak sanggup menahan
diri untuk tidak menangis. Apa ini hadiah dari kesabaran karena berusaha
menunggu dan mencarinya? Alvian benar-benar bersyukur.
"Aku mencintai kamu, Sayang..." lirih Alvian lagi.
"Aku juga mencintai Mas," balas Laila dengan tersenyum lebar.
Extra Part 1
Alvian mengira fase mual-mual Laila sudah berlalu seiring usia kehamilannya yang memasuki bulan kelima. Namun, dugaannya salah besar. Tepat pukul dua dini hari, Laila berlari ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya.
Alvian yang sedang sibuk di ruang kerja langsung bergegas menghampiri istrinya. Ia memang belum tidur, masih tenggelam dalam pekerjaannya dengan laptop dan setumpuk dokumen. Tapi melihat Laila dalam keadaan seperti ini, semua urusan lain jadi tidak penting.
Tanpa ragu, Alvian mengusap tengkuk Laila dengan lembut, berusaha meredakan ketidaknyamanannya. Rasa cemas di hatinya tidak pernah surut, malah semakin besar setiap kali melihat istrinya tersiksa seperti ini.
Ia meraih minyak kayu putih dari meja samping ranjang, lalu mengoleskannya ke beberapa bagian tubuh Laila dengan hati-hati.
"Udah agak mendingan, Sayang?" tanyanya penuh kelembutan. Jika saja dia bisa menggantikan rasa mual itu, ia pasti akan melakukannya tanpa berpikir dua kali.
Laila menghela napas dalam. Perutnya sudah kosong, bahkan yang keluar sekarang hanya cairan.
Perlahan, rasa mualnya mulai mereda. Dengan lemah, Laila memeluk tubuh Alvian, air matanya jatuh tanpa suara.
"Maafin Mas, ya," bisik Alvian, mengelus kepala istrinya. Hanya itu yang bisa ia lakukan yaitu memeluk, menemani, dan memastikan Laila tidak sendirian melewati masa-masa sulit ini.
Menyadari bahwa kamar mandi bukan tempat yang nyaman untuk berlama-lama, Alvian segera menuntun Laila keluar, membawanya kembali ke ranjang.
"Anak Papa, jangan bikin Mama repot terus," ucapnya sambil mengusap lembut perut Laila. Setelah itu, ia bergegas ke dapur untuk mengambil segelas air hangat.
"Jangan bilang gitu," balas Laila.
"Iya iya, Sayang."
"Minum dulu, Sayang," katanya lagi seraya menyodorkan gelas ke istrinya. Setidaknya, air hangat itu bisa membuat Laila merasa sedikit lebih baik.
Laila menyesapnya perlahan, lalu tanpa diduga, ia melingkarkan tangannya di pinggang Alvian, menyandarkan kepala di dada bidang suaminya.
"Kenapa, Sayang?" tanya Alvian, sedikit terkejut. Biasanya setelah muntah, Laila langsung berbaring karena merasa tidak nyaman.
"Lapar, Mas," jawab Laila dengan suara serak. Matanya masih sembab karena menangis.
Alvian mengangkat alis. Lapar? Tumben sekali istrinya merasa lapar di tengah malam. Tapi ia segera menyadari, tentu saja Laila lapar karena tadi ia sudah mengeluarkan semua isi perutnya.
"Mau makan apa? Aku masakin aja gimana?" tawar Alvian, tak tega melihat istrinya lemah seperti ini.
Laila menggeleng. "Mau nasi goreng yang di luar."
Alvian berpikir sejenak. Memasak nasi goreng mudah, tapi istrinya malah tidak mau.
"Nasi goreng yang mana?" tanyanya.
"Nasi goreng yang pernah kita beli dulu."
Alvian mengerutkan kening. Tentu saja mereka beberapa kali pernah membeli nasi goreng. Tapi mereka tidak membeli di satu tempat saja.
"Yang mana, Sayang?" tanyanya lembut.
"Yang dulu itu lo..."
Alvian bertambah bingung. "Coba jelasin lebih spesifik," suruhnya.
"Mas ih. Kok bisa lupa?"
Rasanya Alvian ingin tertawa, tapi dia memilih menahannya.
Alvian ingin sekali tertawa, tapi melihat wajah istrinya yang serius, ia menahan diri.
"Sayang, kita kan pernah beli nasi goreng di banyak tempat. Kasih tahu Mas yang mana?" pintanya dengan sabar.
Laila menghela napas, lalu berpikir sejenak. "Yang dulu kita beli pas hujan, Mas. Terus kita makan di mobil," katanya penuh keyakinan.
Alvian langsung mengingat-ingat. Hujan? Mobil? Alvian tidak ingat. Tapi dia akan coba menebak-nebak saja.
"Di simpang mau ke RS Green itu?" tebak Alvian dengan setidak tidak yakin.
Laila mengangguk.
Alvian bernafas lega. Ternyata tebakannya tidak salah. Dia sudah deg-degan tidak tentu arah. Takut kalau salah tebak dan akhirnya mood sang istri menjadi buruk.
Alvian melirik jam dinding. Pukul dua lebih dua puluh menit. Apa penjualnya masih buka? Alvian tidak tahu karena dia belum pernah beli di jam segini.
"Apa harus disana?"
"Iya. Soalnya enak."
"Kalau nanti nggak buka, apa boleh beli di tempat lain?" Alvian memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Laila menggeleng. "Pasti buka kok," balasnya.
"Kalau seandainya nggak buka, Sayang. Gimana?"
"Firasat aku bilang buka, jadi pasti buka."
Perkataan Laila tidak punya landasan yang kuat. Hanya berlandaskan firasat saja.
"Baiklah, Sayang. Kalau begitu aku pergi dulu." Alvian mengambil kunci mobil. Dia ingin segera mencarinya karena Laila menginginkannya.
"Tunggu..."
"Kenapa, Sayang?" Alvian berhenti melangkah.
"Aku mau ikut," ujarnya dengan manja.
"Udah malam, Sayang. Nanti kamu masuk angin," bujuk Alvian lembut. Lebih baik istrinya menunggu dirumah saja.
"Nggak akan masuk angin, Mas."
Alvian menghela napas. "Sayang... dirumah aja ya?" bujuknya lagi. "Ini udah malam banget," lanjutnya lagi.
Namun Laila kembali menggeleng. Bibirnya mulai melengkung ke bawah, bersiap menangis. "Kenapa Mas nggak mau bawa aku? Emang Mas mau ketemu siapa?"
"Oke, oke! Kita pergi sekarang," akhirnya Alvian menyerah. Apalagi istrinya sudah berpikir kemana-mana. Daripada menjadi panjang, lebih baik mengalah saja.
Laila langsung berseri-seri. Padahal tadi ia terlihat begitu lemah, tapi sekarang seperti mendapat energi baru.
Alvian tersenyum kecil, lalu mengambil jaket tebal untuk istrinya.
"Kita naik motor aja, ya, Mas!" seru Laila bersemangat.
Alvian yang tengah mengambil jaket seketika terdiam. Ia menoleh ke arah istrinya, memastikan ia tidak salah dengar.
"Mas," panggil Laila lagi, seakan menegaskan.
"Kita naik motor aja, ya?" ulangnya.
Alvian menghela napas dalam-dalam. "Sayang, sekarang udah malam. Kalau naik motor, mending kita pesan GoFood, " katanya serius.
Namun Laila langsung menunduk kecewa. "Mas kok marah-marah..." ucapnya dengan suara lirih, membuat Alvian kembali kebingungan.
Ya Allah, pikirnya. Kenapa perempuan hamil itu suka bikin suaminya bingung begini? Padahal Alvian sangat khawatir kepadanya.
Alvian mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Ia tidak marah, hanya saja ia tidak ingin istrinya kedinginan atau kelelahan di tengah malam seperti ini.
"Astaghfirullah, Sayang, Mas nggak marah." Alvian berusaha menenangkan istrinya, tapi tanpa sadar nada bicaranya sedikit tegas.
Namun, bukannya merasa tenang, Laila justru menunduk, bibirnya bergetar. "Mas marah. Kalau nggak mau pakai motor, bilang aja baik-baik..." ucapnya lirih, dan air matanya mulai mengalir.
Alvian tertegun. "Mas beneran nggak marah, Sayang!" katanya lagi, tapi suaranya tetap terdengar lebih kuat dari biasanya.
Laila menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kalau nggak marah, kenapa nada bicaranya begitu?"
Alvian menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan diri. "Oke, Mas minta maaf kalau nada bicara Mas agak keras. Tapi Mas nggak marah, sungguh!"
Alih-alih mereda, Laila justru semakin tersedu. "Mas pasti capek hadapin aku yang kayak gini, kan?"
Alvian menghela napas panjang. "Sayang, istighfar, jangan ngomong yang aneh-aneh..."
Namun Laila malah naik ke ranjang, menarik selimut dan menyembunyikan tubuhnya. "Kalau aku merepotkan, bilang aja. Mas nggak usah pura-pura peduli..."
Alvian terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Ia tahu, istrinya sedang sangat sensitif.
Alvian beristighfar dalam hati. Ia tidak boleh terpancing. Ia hanya ingin menjaga Laila, tapi entah bagaimana, segalanya jadi seperti ini. Ia memijat pelipisnya, merasakan kepalanya mendadak berat.
"Sayang..." ujarnya dengan selembut mungkin. Alvian ikutan naik ke atas ranjang. Mana bisa dia kemana-mana jika keadaannya malah seperti ini. Apalagi istrinya sedang lapar.
"Sayang..." ujar Alvian lagi sambil mengusap lembut tubuh sang istri yang berbalut selimut.
"Aku nggak marah kok," jelasnya.
Laila tetap diam, hanya napasnya yang terdengar tersendat di balik selimut. Alvian menghela napas, lalu dengan perlahan menarik ujung selimut agar bisa melihat wajah istrinya.
"Sayang, lihat aku sebentar," pintanya lembut.
Namun, Laila tetap bergeming.
Alvian tersenyum kecil, lalu menyelipkan tangannya ke dalam selimut, mencari tangan istrinya dan menggenggamnya erat. "Aku nggak marah, beneran. Aku cuma khawatir sama kamu. Soalnya udah malam gini, udaranya dingin jadi aku nggak mau kamu sakit."
Laila menggigit bibirnya.
Alvian menghela napas panjang, lalu mengecup punggung tangan istrinya. "Kalau nada bicara Mas tadi terdengar tinggi, aku minta maaf ya, Sayang. Mas nggak ada niat buat marah sama sekali."
Laila tetap diam, tapi genggamannya di tangan Alvian sedikit mengerat.
"Mas cuma kepikiran kesehatan kamu. Kamu lagi hamil, udah malem, aku takut kamu masuk angin kalau naik motor."
Laila tidak memberi respon sama sekali.
"Anak Papa... tolong bilang sama Mama kalau Papa minta maaf," ucap Alvian dengan lembut.
Laila mencubit pelan tangan Alvian dari balik selimut. "Mas ih. Kenapa bawa-bawa anak kita segala." Suaranya masih terdengar serak, tapi ada nada manja di dalamnya.
Alvian tertawa kecil. "Soalnya Mama masih ngambek sama Papa sih."
Laila menghembuskan napas perlahan, akhirnya menurunkan selimut yang menutupi wajahnya. Matanya masih sembab, tapi tatapannya mulai melembut.
Alvian merasa sangat bersalah.
"Jangan nangis lagi ya, Sayang. Nanti anak kita ikut sedih," ujar Alvian lembut, ibu jarinya masih mengusap pipi istrinya dengan penuh kasih.
Laila mengangguk pelan, lalu menatap suaminya. "Maafin aku," lirihnya.
Laila langsung melingkarkan tangannya di perut Alvian. Dia memeluk Alvian dengan erat. Kepalanya berada diperut Alvian.
Alvian tersenyum kecil, tangannya bergerak mengelus lembut rambut Laila. "Kenapa malah kamu yang minta maaf?" tanyanya pelan.
Laila mengeratkan pelukannya. "Aku ngerasa egois. Padahal Mas cuma khawatir sama aku, tapi aku malah bikin drama..."
Alvian terkekeh, lalu mengusap punggung istrinya dengan penuh kasih. "Nggak ada drama di sini, Sayang. Kamu cuma lagi sensitif. Wajar banget buat ibu hamil."
Laila mendongak, bibirnya mengerucut. "Jadi aku bawel ya?"
Alvian menahan tawanya. "Enggak. Kamu cuma... lebih imut dari biasanya," godanya.
Laila langsung mencubit pinggang suaminya, membuat Alvian terkekeh pelan. "Udah ya? Jangan sedih lagi."
Laila mengangguk, kali ini dengan senyum manis di wajahnya.
"Masih laper?" tanya Alvian.
Laila mengangguk.
"Ayo keluar, tapi pakai mobil ya?"
Laila kembali mengangguk. Laila duduk di tepi ranjang. Alvian mengambil gamis dan jaket sang istri.
"Pakai dulu," katanya sambil memberikan gamis simple. Laila menerima dan langsung memakainya. Laila tidak lupa memakai hijab dan juga cadar.
"Kaus kakinya mana?"
"Oh iya, sampai lupa." Alvian menyengir dan langsung mengambil kaus kaki. Keputusan istrinya memakai cadar adalah yang terbaik. Istrinya terlalu cantik, apalagi Alvian cemburu. Asal istrinya merasa nyaman, maka Alvian akan mendukung. Apapun pandangan orang lain, Alvian tidak peduli.
Penyebab Ethan obsesi juga karena wajah sang istri. Jadi lebih baik ditutupi agar tidak ada Ethan-Ethan selanjutnya. Apalagi tidak ada yang tahu isi kepala seseorang. Namun masih banyak orang-orang baik diluar sana.
Laila
memakai kaus kaki yang diberikan sang suami. Selanjutnya mereka menuju
ke mobil. Bersiap untuk mencari nasi goreng pada waktu dini hari begini.
Extra Part 2
Pagi-pagi, Laila sudah ada di dapur. Tidak seperti bulan-bulan awal kehamilan dimana Laila sangat malas melakukan apa-apa. Sekarang Laila sudah mau bergerak walaupun hanya untuk hal sederhana saja. Kedua orang tua Laila juga sudah pulang ke kampung halaman karena tidak bisa meninggalkan kebun terlalu lama.
Rumah terasa sepi karena memang suaminya sedang tidak ada dirumah. Suaminya sudah lama tidak berlari pagi, jadi pagi ini Alvian memutuskan untuk lari pagi. Lingkungan rumah mereka juga sangat baik, tidak ada tetangga yang kepo satu sama lain. Jadi tidak ada iri-irian antar tetangga karena sibuk dengan urusan masing-masing. Meskipun begitu, orang-orangnya juga ramah karena ada juga yang lari pagi atau anak-anak yang bermain di luar.
Laila memutuskan untuk membuat menu sarapan pagi yang sederhana namun bergizi, yaitu omelet sayur.
Pertama-tama, ia memecahkan empat butir telur ke dalam mangkuk, lalu mengocoknya hingga tercampur rata. Setelah itu, ia menambahkan sejumput garam, sedikit lada, dan dua sendok makan susu cair agar teksturnya lebih lembut.
Tak lupa, ia memasukkan sayuran segar seperti tomat yang sudah dipotong dadu, paprika cincang halus, serta bayam atau sawi yang telah dicincang kasar. Laila mengaduk semua bahan hingga merata, memastikan setiap bagian telur terbalut dengan sayuran yang akan menambah rasa dan nutrisi dalam masakannya.
Saat ia hendak menuangkan adonan ke dalam wajan yang sudah dipanaskan, sebuah suara familiar terdengar dari belakang. Jadi dia mengurungkan niat untuk menuangkan adonan.
"Masak apa, Sayang?"
Laila tersentak kecil, lalu menoleh. Alvian sudah berdiri di dekat pintu dapur, bersandar santai di dinding dengan ekspresi penasaran.
"Omelet sayur. "
"Wah... kelihatannya enak enak."
Alvian melangkah mendekati istrinya dengan gerakan ringan, lalu tanpa peringatan, ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Laila dari belakang.
Laila sedikit terkejut, terutama saat ia merasakan napas hangat suaminya menyentuh kulit lehernya. Sensasi itu membuat bulu kuduknya meremang, bukan karena takut, melainkan karena keintiman yang mendadak.
"Mas..." gumamnya, sedikit gelagapan.
"Hmm?" sahut Alvian malas-malasan, kepalanya bersandar di pundak istrinya.
"Aku lagi masak..."
"Aku tahu," bisik Alvian, semakin mempererat pelukannya. "Tapi baunya enak banget, bikin aku nggak tahan buat deket-deket."
Laila menghela napas kecil, mencoba berkonsentrasi kembali pada wajan di hadapannya, tetapi itu sulit. Bagaimana bisa ia fokus kalau suaminya bertingkah seperti ini?
"Awas dulu ih, nanti omelet nggak jadi, " tegurnya lembut, mencoba mendorong Alvian pelan.
Namun, bukannya menjauh, Alvian justru semakin mengeratkan pelukan dan berbisik tepat di telinganya. "Nggak mau."
Laila langsung memerah. "Mas, ih!" cegurnya sambil menyikut pelan perut suaminya, tetapi tanpa niat benar-benar melepaskan diri.
Laila menghela napas, mencoba tetap fokus pada wajan di hadapannya. Dengan hati-hati, ia menuangkan adonan omelet ke dalam wajan yang sudah dipanaskan, sementara Alvian masih enggan melepaskan pelukannya.
"Mas, kalau kayak gini, nanti omeletnya malah berantakan," keluhnya, meski nada suaranya tidak benar-benar kesal.
Alvian tersenyum kecil, dagunya kini bersandar di bahu istrinya. "Tapi aku suka di sini," gumamnya.
Laila menggigit bibir, menahan tawa. Rasanya aneh, tapi juga menyenangkan memiliki suami yang manja seperti ini.
Dengan satu tangan, ia mencoba membalik omeletnya dengan hati-hati. Tangannya sedikit gemetar karena Alvian masih menempel erat, membuatnya sulit bergerak leluasa. Namun, ia berhasil membaliknya dengan sempurna.
Akhirnya Laila berhasil membuat omelet sayur. Dia memindahkan ke dalam piring.
"Ya ampun, tangan Mas ini kemana-mana ya." Laila kaget luar biasa. Untung saja piring di tangannya tidak jatuh. Bisa-bisanya tangan sang suami masuk ke dalam baju tidurnya.
Alvian hanya menyengir. "Cuma mau nyapa dedeknya, Sayang." Alvian membuat-buat alasan. Padahal bukan hanya itu.
"Awas dulu," tegur Laila sambil memukul pelan tangan sang suami agar keluar dari pakaiannya.
"Iya iya." Alvian melepaskan tubuh sang istri.
Laila menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pipinya masih terasa panas akibat ulah suaminya yang tiba-tiba itu.
"Mas ih, pagi-pagi udah iseng aja," gerutunya sambil meletakkan piring berisi omelet di meja makan.
Alvian tertawa kecil, lalu menarik kursi dan duduk. "Biar pagi kita lebih semangat, Sayang."
Laila mendelik, tapi sudut bibirnya sedikit tertarik. "Semangat buat apa?" tanyanya curiga.
Alvian menatap istrinya dengan tatapan jahil. "Banyak hal. Salah satunya makan omelet buatan istri tercinta," ujarnya cepat sebelum Laila sempat protes.
"Nggak nyambung," balas Laila yang hanya bisa geleng-geleng kepala.
Alvian hanya bisa tertawa. Melihat wajah cemberut sang istri dengan pipi memerah menjadi kesenangan tersendiri untuk dirinya.
Laila meletakkan omelet di meja makan. "Mandi dulu sana," suruh Laila. Apalagi suaminya baru selesai lari pagi yang pasti mengeluarkan keringat.
"Aku bau ya?" Avian mencium bau badannya sendiri.
"Itu sadar," jawab Laila sambil menahan senyum.
"Eh masa?" Alvian terkejut dan mencium kembali. Memang dirinya berkeringat, tapi tubuhnya tidak bau. Sejak dulu tubuh Alvian memang memiliki kelebihan seperti ini. Makanya dia santai saja memeluk sang istri meski baru saja selesai lari pagi.
"Coba cium sendiri kalau nggak percaya."
"Nggak bau kok." Alvian sudah mencoba mencium berkali-kali. Tidak bau sama sekali.
"Terus kalau nggak bau, Mas nggak mau mandi gitu?"
"Ya mau, Sayang. Cuma kalau aku bau kan kasihan hidung kamu. Mana tadi aku meluk-meluk kamu lagi."
Laila terkekeh. "Nggak bau kok," jelas Laila jujur.
Alvian tersenyum puas. "Tuh kan, berarti aku aman," ujarnya santai.
Laila menggeleng, masih terkekeh. "Aman sih aman, tapi tetap aja, Mas harus mandi."
Alvian mendengus pelan, berpura-pura malas. "Istri aku ini cerewet banget ya," godanya sambil mengusap kepala Laila lembut.
Laila mendelik. "Biar sehat, Mas! Lagian, kalau udah mandi pasti rasanya lebih segar," ucapnya, setengah mendorong suaminya menjauh.
Alvian mengangkat tangan tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Aku mandi dulu biar bisa... ," katanya sambil menaik turunkan alisnya.
"Bisa apa?" Mata Laila melotot.
"Bisa berolahraga bersama-sama," jawabnya sambil menyengir. "Kamu butuh keluar keringat juga, Sayang."
"Yang semalam nggak cukup?"
Alvian menggeleng malu.
"Dulu aja nolak," sindir Laila karena awal-awal menikah suaminya seperti orang yang anti dekat dengannya.
"Sayang..." rengek Alvian karena tidak mau membahas-bahas yang lalu. "Jangan dibahas lagi," lanjutnya.
Laila tertawa kecil, merasa menang. "Makanya, dulu nggak usah gengsi segala," godanya sambil melipat tangan di dada.
Alvian menghela napas, lalu berjalan mendekati istrinya lagi. "Ya namanya dulu aku nggak waras, Sayang," ujarnya. "Sekarang kan udah waras."
Laila memutar bola matanya, tapi pipinya sedikit merona. "Iya, iya. Mas mandi dulu sana. Jangan malah godain aku terus."
Alvian pura-pura berpikir. "Hmmm... Mandi dulu, terus olahraga berdua, terus sarapan bareng, terus..."
Laila langsung menutup mulut suaminya dengan telapak tangannya. "Udah, mandi aja dulu!"
Alvian terkekeh sebelum akhirnya melangkah pergi menuju kamar mandi. Namun, sebelum masuk, ia kembali mengintip dari balik pintu. "Jangan kabur, ya. Papa balik sebentar lagi!" godanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Laila hanya bisa menggeleng sambil menahan senyum. "Ya ampun, Mas!"
Alvian masuk ke kamar mandi. Dia membersihkan diri padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang. Alvian tidak benar-benar menginginkan olahraga bersama istrinya. Dia hanya menggoda saja karena dia juga dikejar waktu untuk segera berangkat kerja. Banyak yang harus dikerjakan Alvian termasuk mengupgrade games yang sudah memiliki banyak pengguna. Kalau tidak di upgrade, pengguna aku bosan. Jadi Alvian akan memulai rapat untuk update sebelum tahun ini berakhir.
Alvian keluar dari kamar mandi. Istrinya sudah menyiapkan pakaian kerja untuknya. Meskipun Laila kerja dari rumah, tapi Alvian tidak memperbolehkan sang istri bekerja berat termasuk mencuci pakaian. Dia bisa menggunakan jasa laundry.
Seperti sudah diperkirakan Laila, dia masuk kamar saat suaminya ingin memasang dasi. Laila mengambil alih pekerjaan itu dengan senang hati.
"Oh ya, Nanti siang jadi ketemu sama Viola?" tanya Alvian. Dia tidak pernah melarang istrinya keluar rumah, apalagi dia sangat percaya istrinya tidak akan macam-macam diluar.
"Jadi," jawab Laila.
"Ya udah, nanti aku jemput."
Laila menggeleng. "Nggak usah, aku bisa pergi sendiri."
"Sayang..." Tanda-tanda Alvian tidak setuju dengan keinginan sang istri. Apalagi Alvian masih punya trauma atas kasus sang istri yang pernah menjadi korban pelecehan.
"Kalau Mas jemput, nanti malah jadi repot."
"Aku nggak repot buat jemput istri sendiri," kata Alvian dengan penuh keseriusan. Mau dijemput dimanapun tidak masalah.
"Nggak usah. Aku diantar sama Mbak Yuni aja." Mbak Yuni adalah sosok yang dipekerjakan Alvian untuk menjadi bodyguard sekali supir yang mengantar Laila kemana-mana. Dia sengaja mencari supir perempuan agar istrinya merasa nyaman. Tentu saja gaji yang diberikan Alvian tidak tanggung-tanggung. Dia juga mempekerjakan orang yang benar-benar profesional.
Alvian menghela nafas panjang. "Baiklah, Sayang."
Laila setelah mengikat dasi Alvian. Dia tersenyum karena hasilnya tampak rapi. "Tampannya suamiku," puji Laila.
Alvian malu sendiri kalau dipuji begitu. "Istriku juga cantik," balas Alvian. Dia mencium sang istrinya sejenak. Seperti sudah menjadi kebiasaan, Laila menerima dengan senang hati. Alvian membutuhkan hal ini agar paginya menjadi lebih semangat. Terkadang sebuah ciuman lebih membangkitkan semangat dibanding menu sarapan.
Alvian mengusap bibir sang istri akibat aktivitas menggairahkan yang mereka lakukan. Meskipun sudah sering, Laila terkadang masih malu-malu. Laila menundukkan wajahnya dengan pipi merona.
"Ayo kita sarapan," ajak Alvian sambil menggenggam tangan sang istri. Mereka berdua melangkah ke meja makan.
Laila duduk dan Alvian memilih untuk membuka kulkas lebih dulu untuk mengecek sesuatu. "Eh buahnya udah habis ya," ujarnya. Buah yang dimaksud Alvian adalah buah yang sudah dipotong sehingga istrinya tinggal memakannya saja.
"Udah mungkin," jawab Laila.
Alvian mengeluarkan 3 buah. Dia akan mengupas dan memotongnya lebih dulu sebelum sarapan dan berangkat kerja. Hal ini sudah menjadi kebiasaan selama Laila hamil. Terkadang Laila tidak meminta hal itu, tapi suaminya selalu memperhatikan Laila dan anak mereka walau dalam hal kecil sekalipun. Buktinya kursi kerja Laila diganti yang lebih nyaman untuk dirinya. Bahkan suaminya tidak pernah memikirkan uang yang keluar. Demi kenyamanan Laila, dan tentu saja membuat Laila merasa sangat dicintai.
Extra Part 3
"Silahkan, Bu." Mbak Yuni membuka pintu mobil. Laila tidak bergerak sama sekali. Dia menatap Mbak Yuni.
"Kenapa, Bu?" tanya Mbak Yuni bingung.
"Nggak usah panggil Bu, Mbak. Panggil nama aja." Laila sudah berkali-kali mengatakan. Dia merasa tidak nyaman dipanggil Bu atau Nyonya.
"Tapi Bu..."
"Nama aja, Mbak. Oke?"
Mbak Yuni tidak bisa protes. "Baik, Bu eh maksud saya Laila."
Laila tersenyum. "Terima kasih, Mbak." Setelah mengatakan itu, Laila masuk ke dalam mobil. Dia sudah lama tidak bertemu dengan Viola. Jadi mereka akan janjian di sebuah cafe yang sudah menjadi tempat favorit untuk Laila. Apalagi cafenya tidak terlalu jauh dari perusahaan sang suami.
Empat puluh menit perjalanan, akhirnya mobil sampai di sebuah cafe yang menjadi tempat janjian. Hijab Laila berhasil menutupi perutnya yang sudah sedikit membuncit. Gamisnya juga lebar sehingga tidak terlalu terlihat jelas.
Mbak Yuni hanya mengantar saja karena Alvian yang akan menjemput nantinya. Padahal LAila tidak ingin membuat suaminya kerepotan ditengah kesibukannya. Tapi Alvian tidak terima penolakan.
"Assalamu'alaikum..." salam Laila dengan riang saat menghampiri Viola yang ternyata sudah menunggu.
"Wa'alaikumsalam bumil cantik." Viola sangat excited sekali. Bahkan dia memeluk Laila dengan heboh sambil mengusap perut Laila dan berharap anak didalam perut Laila bisa terlihat sehat.
"Ya ampun... rindu banget." Meskipun Viola tahu kasus yang menjerat Laila, tapi dia tidak pernah membahasnya. Pembahasan terlalu sensitif dan Viola yakin Laila sangat ingin melupakan ingatan mengerikan itu.
"Aku juga rindu," balas Laila.
Viola melepaskan pelukannya, lalu menatap Laila dengan penuh perhatian. "Kamu sehat, kan? Bayinya juga baik-baik aja?" tanyanya dengan nada khawatir.
Laila tersenyum dan mengangguk. "Alhamdulillah, sehat. Cuma kadang masih mual-mual dikit, tapi nggak separah dulu," jawabnya jujur.
Viola menghela napas lega. "Baguslah kalau gitu. Aku sempat khawatir sama kamu, tahu nggak?"
Laila menggenggam tangan sahabatnya. "Aku baik-baik aja, Vi. Berkat Mas Alvian juga sih, dia selalu ada buat aku."
Viola tersenyum, ikut bahagia mendengar itu. "Syukurlah. Kamu beruntung punya suami kayak Kak Alvian."
Laila mengangguk mantap. "Iya, aku bersyukur banget."
Laila dan Viola mulai memesan makanan dan minuman. Mereka akan menceritakan banyak hal. Tentu saja sesuatu hal yang baik. Laila juga meminta ilmu dari Viola yang lebih dulu punya anak. Viola adalah teman dan sahabat yang sangat baik.
Sekitar pukul dua lewat, Alvian menjemput Laila. Dia menunggu di luar sambil bersandar di mobil. Beberapa orang lewat menatapnya. Laila dapat melihat hal itu. Suaminya ini entah sengaja atau bagaimana. Kadang bikin kesal sendiri saja. Apa salahnya menunggu di dalam mobil saja, tapi malah keluar. Mana lengan bajunya sampai diangkat ke siku begitu. Mau pamer punya tubuh bagus atau bagaimana?
"Kamu kenapa?" tanya Viola.
"Eh, nggak apa-apa kok." Laila memeluk Viola sebelum berpisah. "Hati-hati di jalan," ujar Laila kepada Viola.
Viola mengangguk. Dia masuk ke dalam mobilnya sendiri. Setelah itu barulah Laila mendekati suaminya.
"Sayang... aku ri-"
"Mas mau tebar pesona ya?" potong Laila langsung. Nada bicaranya juga sedikit berbeda dari biasanya. Alvian sampai mengerutkan kening. "Maksudnya, Sayang?"
Laila melipat tangan di depan dada, menatap suaminya dengan sorot mata menyelidik. "Mas tuh kenapa sih nggak nunggu di dalam mobil aja? Kenapa malah keluar terus bersandar gitu? Apalagi lengan bajunya digulung segala."
Alvian menaikkan sebelah alisnya, mencoba memahami arah pembicaraan istrinya. "Terus, masalahnya dimana, Sayang?"
Laila mendengus pelan. "Ya masalahnya... itu bikin orang-orang pada ngelirik Mas!"
Alvian tersenyum kecil, lalu mendekat dan meraih tangan istrinya. "Jadi, istriku cemburu?" godanya dengan nada lembut.
Laila langsung menepis tangan suaminya. "Cemburu apanya?! Aku cuma heran aja, Mas itu udah nikah, udah punya istri, tapi masih aja tebar pesona."
Alvian tertawa pelan, kemudian dengan cepat menarik pinggang istrinya hingga mereka berdua sangat dekat. "Tebar pesona gimana, Sayang? Aku cuma berdiri nunggu kamu."
Laila diam sejenak, seakan mencerna penjelasan suaminya. "Tapi tetep aja!"
"Ya ampun, istriku manis banget kalau lagi cemburu," goda Alvian lagi sambil menahan tawa.
Laila memutar bola matanya. "Ih, siapa yang cemburu!"
Alvian tertawa makin keras, lalu merangkul istrinya. "Iya iya, Sayang. Ayo masuk mobil."
Alvian membuka pintu mobil dan menunggu hingga Laila masuk. Dengan sigap, ia mengangkat satu tangan untuk melindungi bagian atas pintu, memastikan kepala istrinya tidak terbentur saat masuk ke dalam mobil. Gestur kecil yang selalu ia lakukan tanpa perlu diminta.
Setelah memastikan Laila masuk dengan aman, Alvian menutup pintu dengan hati-hati, lalu bergegas menuju sisi lain mobil untuk masuk ke kursi pengemudi.
"Kita ke perusahaan dulu ya?" ujar Alvian. Soalnya dia masih ada pekerjaan.
"Nah kan. Mas itu sibuk tapi masih aja keras kepala mau jemput aku."
Alvian menyalakan mesin mobil sambil melirik istrinya dengan senyum tipis. "Aku kan rindu, Sayang."
"Baru aja ketemu tadi pagi."
"Lihat dek, Mama kamu nggak suka Papa rindukan." Alvian pura-pura mengadu kepada anak yang masih berada di dalam perut Laila.
Laila langsung melotot. "Jangan dengerin Papa, Nak," ujarnya langsung.
Alvian hanya tertawa. Mobil menuju ke perusahaan. Laila sedikit tidak nyaman datang ke perusahaan suaminya. Apalagi kasus yang menyebar ke seluruh penjuru negeri ini. Pasti mereka menatap Laila dengan tatapan aneh. Sesampainya di parkiran perusahaan. Alvian membuka pintu mobil dan mengulurkan tangan kepada sang istri. "Ayo, Sayang," ujarnya.
Laila tidak menerima uluran tersebut. "Aku tunggu disini aja, Mas."
"Lah kok gitu?"
"Nggak apa-apa. Aku disini aja."
Alvian mana mungkin meninggalkan istrinya di mobil. "Sayang... jangan begitu."
"Turun ya?" bujuk Alvian.
Akhirnya Laila menerima uluran tangan Alvian dan turun dari mobil.
Laila mengikuti Alvian dari belakang, sengaja menjaga jarak dan enggan berjalan di samping suaminya. Alvian yang menyadari hal itu hanya tersenyum kecil sebelum akhirnya menarik Laila mendekat dan merangkulnya tanpa peringatan.
Mata Laila langsung membesar, menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. Seakan bertanya, kenapa tiba-tiba?
Alvian membalas tatapan itu dengan tenang, seolah berbicara lewat sorot matanya. Mereka tidak butuh kata-kata karena cukup saling menatap, dan keduanya sudah mengerti.
"Siang, Pak... Bu," sapa beberapa orang yang berpapasan dengan mereka.
Seperti biasa, Alvian hanya mengangguk tipis sebagai bentuk sapaan formalitas. Sementara itu, Laila justru semakin merapat ke tubuh suaminya. Ia juga membalas anggukan kecil, tetapi seperti bersembunyi dibalik tubuh Alvian.
Alvian melirik ke arah istrinya dengan alis sedikit terangkat, merasa heran dengan tingkahnya. Namun, ia tidak berkata apa-apa dan segera membawa Laila memasuki lift menuju lantai tujuh.
"Kenapa kayak orang yang mau sembunyi gitu?" tanya Alvian penasaran. Ia khawatir, apakah Laila merasa takut atau traumanya kambuh lagi.
"Malu, Mas!" jawab Laila blak-blakan.
"Malu kenapa?" Alvian tidak mengerti.
"Ya pokoknya malu."
Alvian geleng-geleng kepala. Dia malah merangkul istrinya dengan mesra, tidak peduli apapun yang orang katakan. Mana berani juga para karyawannya membicarakan atasan secara terang-terangan.
Alvian membawa istrinya ke ruang kerjanya. Alvian sudah rindu sekali dan ingin mengisi daya tubuhnya terlebih dahulu. Namun, tiba-tiba Laila menghentikan langkahnya. Matanya melebar, dan tangannya cepat-cepat menutup mulut.
Rasa mual menyerang begitu hebat hingga ia tidak bisa menahannya. Nasi goreng yang baru beberapa menit lalu masuk ke perutnya mendadak ingin keluar. Laila panik mencari kamar mandi, tetapi sebelum sempat menemukannya, isi perutnya sudah tumpah di lantai.
"Sayang!" Alvian refleks menahan tubuh istrinya yang melemas. Dengan cepat, ia membimbing Laila ke kamar mandi di ruang istirahat. Namun, karena lambat sampai, muntahan Laila berceceran di beberapa tempat.
Di dalam kamar mandi, Alvian memijat tengkuk istrinya dengan lembut, berusaha meredakan ketidaknyamanannya. Ia benar-benar khawatir. Bukankah masa morning sickness Laila sudah berlalu? Apa yang salah? Apa istrinya kelelahan?
"Kepala aku pusing, Mas..." cicit Laila lemah. Bahkan untuk berdiri saja ia hampir tidak sanggup.
Tanpa pikir panjang, Alvian segera menopang tubuh istrinya. Ia melepaskan hijab serta cadar Laila yang terkena muntahan, lalu mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Dengan sigap, ia merapikan rambut istrinya yang berantakan sebelum mengangkatnya dan membaringkannya di ranjang kecil yang ada di ruangan.
"Aku nggak tahan, Mas... Ruangan bau" lirih Laila, menutup hidungnya dengan lemah.
Alvian baru menyadari sesuatu. Pengharum ruangan di kantornya beraroma jeruk, apa tidak cocok dengan hidung Laila? Alvian sampai tidak memperhatikan ini karena aroma dirumah mereka lebih ke aroma bunga.
Tanpa banyak bicara, Alvian menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya, membiarkan Laila menghirup aroma parfum yang ia pakai. Dan benar saja, cara itu berhasil untuk sementara. Napas Laila mulai lebih teratur, dan rasa mualnya perlahan mereda.
"Maaf ya, Sayang. Aku kira kamu nggak sensitif lagi." Alvian merasa bersalah.
Laila hanya mengangguk lemah. Dia juga tidak menyangka akan sensitif terhadap aroma jeruk. Alvian juga meminta maaf kepada anak yang ada didalam perut sang istri. Dia mengusapnya dengan lembut.
Extra Part 3
Apa yang paling disukai Laila? Jawabannya adalah saat dimana suaminya libur bekerja. Maka Laila bisa bersama suaminya sepanjang hari.
Laila selalu menunggu akhir pekan dengan penuh antusias. Namun, ia tidak ingin terlihat terlalu menantikannya, takut kalau Alvian justru berpikir untuk sering mengambil libur sendiri. Memang dia bekerja di perusahaannya sendiri, tapi tetap saja harus profesional. Dia berharap kebiasaan suaminya yang penuh tanggung jawab ini tidak akan berubah sampai kapan pun.
Memang benar, Alvian selalu menunjukkan betapa besar cinta dan perhatiannya pada Laila. Mungkin karena Laila adalah cinta pertamanya. Sosok yang sudah ia sukai sejak 9 tahun yang lalu.
Pagi ini, Laila yang masih berbaring di samping Alvian tiba-tiba terdiam. Berhubung libur maka dia dan suami memutuskan tidur kembali setelah shalat subuh. Memang bukan kebiasaan baik. Mereka pun hanya sesekali saja melakukannya. Ia memperhatikan suaminya yang tertidur lelap, tetapi tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Rasa khawatir muncul di benaknya.
"Jangan-jangan Mas Alvian..." pikir Laila sambil menelan ludah.
Walaupun tahu itu terdengar konyol, ia tetap mendekatkan telinganya ke dada bidang Alvian untuk memastikan detak jantungnya masih terdengar. Begitu mendengar denyut yang stabil, ia akhirnya merasa lega.
Namun, saat ia hendak bangkit, sesuatu menahannya.
"Apa kamu selalu begini tiap pagi, Sayang?" suara Alvian tiba-tiba terdengar.
Laila membeku. Ia mendongak dan mendapati suaminya sudah bangun, menatapnya dengan senyum geli.
"Aku..." Laila gugup, wajahnya langsung merona.
"Aku sering loh, lihat kamu begini," goda Alvian lagi, tawanya makin terdengar.
Laila mendengus, mencoba membela diri. "Kamu sih nggak gerak-gerak, aku jadi takut!"
Alvian terkekeh. "Orang tidur mana ada yang gerak-gerak, Sayang?"
"Ada, dong!" balas Laila cepat. "Orang tidur itu biasanya masih bisa gerak sedikit, minimal berbalik badan!"
Alvian tersenyum sambil menarik tubuh istrinya dalam pelukan. "Jadi tiap pagi kamu ngecek aku masih hidup atau enggak?" tanyanya jahil.
"Enggak!" jawab Laila galak.
Alvian tertawa. Dia bahkan langsung menarik tubuh sang istri agar mendekat padanya. "Dingin," ujar Alvian sambil mengeratkan pelukan. Meskipun begitu dia sangat berhati-hati dengan perut sang istri yang sudah terlihat membuncit.
"Makanya pakai baju," balas Laila sambil memukul pelan lengan suaminya. Alvian memang hanya menggunakan celana pendek saja.
"Nanti kalau pakai baju, kamu kecewa," goda Alvian. Dia bahkan mencium sang istri berkali-kali sampai Laila merasa geli sendiri.
"Mas ih... " Laila ingin menjauhkan wajahnya dari bibir sang suami, tapi tampaknya tidak bisa.
Alvian semakin menggoda dengan kembali mencium pipi istrinya berulang kali. Laila mencoba memberontak, tetapi tangannya malah tertangkap oleh suaminya yang usil. Lantas keduanya sama-sama tertawa. Apalagi Laila sampai menggigit lengan sang suami sampai merah. Alvian tidak marah sama sekali. Dia malah suka-suka saja.
"Anak Papa baik-baik saja, Kan?" tanya Alvian yang kini fokus pada perut sang istri.
"Iya dong, Papa. Anak Papa kan kuat," jawab Laila dengan meniru suara anak kecil.
"Alhamdulillah. Anak Papa memang kuat. Harus baik-baik diperut Mama, jangan buat Mama kesulitan."
"Kamu yang buat aku kesulitan, bukan anak kita," keluh Laila dengan niat bercanda.
"Oh ya? Kesulitan seperti apa?" Alvian mulai jahil. Tangannya bergerak kemana-mana. "Apa ini?" tanyanya.
"Mas mau aku gigit lagi ya?" Laila pura-pura galak.
"Kamu kok gemesin banget, sih? Padahal sebentar lagi jadi ibu," goda Alvian sambil menatap istrinya penuh sayang. Ia jadi membayangkan, kalau Laila saja sudah selucu ini, bagaimana dengan anak mereka nanti? Alvian berharap si kecil mewarisi kecantikan dan kelembutan sang istri. Sementara Laila justru ingin anak mereka lebih mirip suaminya.
"Gemesin darimana?" Laila mendongak, menatap suaminya dengan penuh selidik.
Alvian menyandarkan satu tangan di bawah kepalanya, sementara tangan yang lain mengusap pelan puncak kepala istrinya. "Dari mana aja. Senyum kamu, pipi kamu, semuanya bikin gemas," jawabnya dengan senyum lebar.
Laila langsung memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai muncul di pipinya. Dipuji terang-terangan begini membuatnya semakin malu.
Alvian tertawa kecil. "Duh, wajahnya sampai merah!" godanya, semakin gemas melihat reaksi sang istri.
"Jangan lihat!" Laila buru-buru menutup wajah dengan tangan, tapi justru itu semakin membuat Alvian tergelitik untuk menggoda.
"Mana bisa? Istriku secantik dan seimut ini, sayang banget kalau nggak dilihat."
"Gombal terus," gerutu Laila, masih tak berani menatap suaminya.
"Bukan gombal. Coba sini wajahnya, aku mau lihat lebih dekat."
"Nggak mau!" Laila malah beringsut menjauh dari dada bidang Alvian.
"Eh, Sayang mau ke mana?" Alvian buru-buru menahan pergerakan istrinya.
"Mau jalan santai dibawah," jawab Laila singkat.
Alvian melirik jam dinding. Pukul delapan lewat. Sinar matahari sudah cukup hangat, memang waktu yang pas untuk berjalan santai di sekitar rumah.
"Oke, Sayang. Aku cuci muka dulu." Alvian bangkit dari tempat tidur. Tapi sebelum ke kamar mandi, ia menyempatkan diri untuk merapikan kasur terlebih dahulu. Hal yang jarang ia lakukan kalau Laila masih tidur, apalagi di hari kerja.
Alvian mencuci wajah dan menggosok gigi. Selanjutnya di keluar. Istrinya sudah menunggu. Melihat perut istrinya sudah sangat membuncit membuat Alvian senang sekaligus khawatir. Semakin dekat persalinan tentu saja membuat dirinya semakin takut. Tapi Alvian tidak menunjukkan sama sekali rasa khawatir dan takutnya itu.
"Duduk disini biar aku ambil sepatu dulu," ujar Alvian.
"Nggak usah, Mas."
"Kenapa?"
"Aku pakai sendal aja. Sepatunya sempit."
Alvian ternyata belum sepenuhnya memperhatikan sang istri. "Kenapa baru bilang sekarang?" tanya dengan wajah sedih.
"Ya baru-baru ini aja terasa sempit. Mungkin karena berat badanku nambah."
"Ya udah, nanti beli yang baru."
Laila jelas saja menolak. Membeli juga untuk apa karena hanya bisa dipakai sebentar. Suaminya sangat-sangat mudah mengeluarkan uang. Laila sampai takut kalau uang suaminya habis padahal tidak mungkin selama Alvian menjalankan perusahaan dengan baik.
"Nanti kan berat badan aku juga berkurang setelah melahirkan, jadi nggak perlu beli sepatu baru," jelas Laila agar suaminya tidak salah paham.
Alvian menghela nafas panjang. "Baiklah, Sayang. Tapi kalau nanti butuh sepatu baru bilang ya?"
Laila mengangguk.
Matahari pagi menyinari kompleks perumahan tempat Laila dan Alvian tinggal. Udara masih segar, dan jalanan cukup lengang, hanya beberapa tetangga yang juga sedang berolahraga ringan atau sekadar berjalan santai.
Laila melangkah dengan santai di samping suaminya. Sementara itu, Alvian tampak begitu siap siaga, seolah mereka sedang melakukan ekspedisi besar, bukan sekadar jalan pagi di sekitar rumah. Di tangannya, ia membawa handuk kecil untuk menyeka keringat istrinya, sebotol air mineral, dan bahkan kipas angin kecil yang bisa digenggam.
"Mas, ini kita jalan pagi atau perjalanan jauh, sih?" Laila menatap suaminya heran.
Alvian tersenyum, dengan sigap membuka kipas dan mulai mengipasi istrinya. "Kan kamu gampang kepanasan, Sayang. Nanti keringetan, nggak nyaman."
Laila menghela napas, geli melihat betapa berlebihan perhatian suaminya. "Kita cuma jalan santai di sekitar rumah, Mas. Nggak bakal dehidrasi juga."
"Ya tapi kalau kamu tiba-tiba haus, aku udah siapin minum." Alvian menyodorkan botol air dengan penuh semangat.
Laila tertawa kecil, tapi tetap menerima botol itu. "Ya ampun, Mas."
Mereka terus berjalan santai menyusuri trotoar perumahan. Alvian sesekali melirik istrinya, memastikan Laila tidak kelelahan. Bahkan ketika ada batu kecil atau jalanan sedikit menanjak, tangannya sigap memegang lengan Laila untuk berjaga-jaga.
Di sebuah taman kecil dekat rumah, mereka berhenti sejenak. Laila duduk di bangku taman, menikmati angin pagi yang sejuk, sementara Alvian mengeluarkan handuk kecil dan menyeka kening istrinya dengan lembut.
"Mas, aku nggak kepanasan juga, loh," protes Laila, meskipun dalam hati ia senang diperhatikan begitu rupa.
"Antisipasi, Sayang. Pokoknya aku nggak mau lihat kamu kepanasan atau kehausan."
Laila tersenyum, menatap suaminya dengan penuh rasa sayang. "Suami aku memang luar biasa," pujinya.
Alvian tersenyum senang. "Terima kasih atas pujiannya." Alvian melihat ke sekeliling, ketika tidak ada yang melihat. Dia mencium pucuk kepala sang istri. Kemudian keduanya saling menggoda satu sama lain seperti biasanya.
***
Jalan santai dipagi hari tidak perlu terlalu lama. Cukup beberapa menit saja. Alvian membawa Laila kembali ke rumah setelah 30 menit berlalu. Dia menyuruh Laila untuk beristirahat terlebih dahulu di kursi santai yang nyaman untuk ibu hamil. Alvian termasuk orang-orang yang begitu banyak membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu penting. Namun Alvian mengutamakan kenyamanan sang istri. Termasuk sendal di dalam rumah. Dia membeli yang lembut dan aman agar tidak membuat istrinya tergelincir jika lantai licin atau sebagainya.
"Mau sarapan apa, Sayang?" tanya Alvian. Kalau hari libur, biasanya Alvian yang menyiapkan sarapan. Tapi hari kerja dia juga sering menyiapkan sarapan.
"Apa ya?" Laila mulai memikirkan apa yang dia inginkan. Sedangkan Alvian menunggu jawaban istrinya sambil membuka kulkas untuk melihat isi dalam kulkas. Masih banyak jadi Alvian sedikit lega.
"Bilang aja sayang, kamu lagi pengen apa?"
"Mau bubur," jawab Laila sambil menyengir.
"Oke istriku." Alvian tidak pernah menolak keinginan Laila. Lebih tepatnya Laila juga tidak meminta yang macam-macam. Setidaknya masih dalam jangkauan kemampuan Alvian. Kecuali sang istri menginginkan makanan yang ribet.
Walaupun Alvian pernah membuat bubur, tapi dia tetap mencari referensi di youtube. Kali saja bisa membuat bubur yang lebih enak dari biasanya.
Alvian akan membuat bubur ayam plus sayur. Jadi dia akan memotong sayur yang cukup disukai oleh sang istri. Alvian begitu hati-hati membuat bubur ayam plus sayur tersebut.
Waktu yang Alvian habiskan adalah kurang lebih satu jam. Selanjutnya Alvian memanggil sang istri agar sarapan bersama. Tampaknya sang istri sedang membaca buku untuk menunggu sampai Alvian selesai membuat sarapan.
Laila menutup buku dan meletakkan di rak buku. Dia melangkah ke meja makan. "Wah... wangi banget," puji Laila.
"Tentu saja, aku buat dengan cinta yang seluas langit dan bumi."
Laila malu sendiri mendengar gombalan receh sang suami.
Laila duduk disamping Alvian. Mereka sarapan bersama-sama. Kemudian Alvian penasaran, apa bubur yang dia buat enak atau tidak. "Enak nggak?"
"Enak kok." Laila tidak berbohong. Bubur tersebut memang enak.
"Syukurlah." Alvian lega. Dia tersenyum senang. Ketika melihat ada sedikit sisa bubur yang menempel di ujung bibir istrinya, Alvian mengusapnya dengan ibu jarinya.
"Belepotan ya?" Laila kaget. Dia sudah besar masa makan bubur sampai belepotan.
"Enggak kok. Buburnya aja yang suka nempel di sini." Alvian kembali mengusap bibir sang istri. Laila jadi malu sendiri. "Soalnya bibir kamu manis, Sayang," lanjut Alvian lagi.
Wajah Laila merona. Suaminya ini memang tidak bisa dilawan kalau sudah berkata yang manis-manis.
Extra Part 4
Alvian memutuskan untuk mengambil cuti yang panjang. Untuk sementara waktu, perusahaan akan dipegang oleh Dylan. Tapi tenang saja, terkadang jika ada pekerjaan yang sangat penting dan mendesak, Alvian akan mempetimbangkan untuk datang ke perusahaan. Itupun tidak lama karena HPL (Hari Perkiraan Lahir) sebentar lagi. Sekitar 1 minggu lagi dan Alvian tidak mau melewatkan apapun. Kedua orang tua Laila sudah datang dari kampung halaman sejak 1 minggu yang lalu. Tentu saja Laila dan Alvian masih awam dalam mengurus anak mereka nantinya. Mereka butuh banyak belajar dari orang yang sudah berpengalaman.
"Makin hari bengkaknya makin besar aja. Apa nggak perlu ke rumah sakit?" Alvian bertanya dengan raut wajah khawatir. Dia memegang pergelangan kaki sang istri.
"Nggak sakit kok, Mas. Jadi nggak masalah."
"Yang benar?" Alvian sedikit tidak percaya. Terkadang istrinya ini lebih memilih menahan rasa sakit dibanding dikatakan atau diungkapkan. Alasannya karena tidak mau merepotkan. Padahal Alvian sudah direpotkan.
"Iya, Mas."
Alvian menghela nafas panjang. Dia menyuapi buah ke dalam mulut sang istri. Semakin mendekati hari kelahiran, tentu saja pergerakan Laila semakin terbatas. Dia susah bergerak dengan perut besar. Mencari posisi tidur yang nyaman saja sangat sulit. Terkadang Alvian berpikir lebih baik istrinya tidak hamil daripada kesusahan begitu. Tapi memikirkan anak mereka, Alvian membuang pikiran tersebut.
"Ibu mana, Mas?" tanya Laila.
"Ke pasar."
"Ha? Ke pasar?"
Alvian mengangguk. "Tenang saja, Ibu ditemani Yuni kok."
Laila lega. Ibunya memang tidak bisa diam saja di rumah. Pasti ada-ada saja yang dikerjakan. Apalagi ayahnya. Padahal Laila tidak mau membuat repot, tapi ayahnya malah membersihkan tamat di belakang rumah. Bahkan membuat ayunan dari kayu. Alvian juga tidak bisa menghentikan.
Laila ingin turun dari ranjang. Alvian cukup peka sehingga membantunya. "Mau kemana?"
"Mau ke belakang. Ayah di belakang, kan?"
"Iya."
Alvian ingin memapah istrinya. Laila jelas saja menolak. "Aku masih bisa jalan, Mas," ungkapnya sambil terkekeh.
"Yang bilang nggak bisa siapa, Sayang?"
Alvian tetap mengikuti langkah istrinya dari belakang, memastikan Laila baik-baik saja. Sesekali dia mengulurkan tangan, berjaga-jaga kalau Laila tiba-tiba kehilangan keseimbangan.
Di halaman belakang, ayah Laila tampak sibuk merapikan taman kecil yang sudah ia rawat sejak datang ke rumah mereka. Dengan kaos oblong dan celana kain santai, pria paruh baya itu terlihat begitu menikmati pekerjaannya, seakan tidak merasa lelah sama sekali.
"Ayah, capek nggak?" tanya Laila sambil duduk di kursi kayu yang dibuat sang ayah sendiri beberapa hari lalu.
"Ah, enggak. Ayah tuh justru senang bisa beraktivitas begini," jawabnya dengan senyum lebar.
Alvian ikut duduk di samping Laila, sementara matanya terus memperhatikan istrinya dengan seksama.
"Sini aku pijet," ujar Alvian sambil meletakkan kaki sang istri ke atas pahanya. Sedangkan punggung Laila bersandar pada sandaran kursi.
"Eh eh, nggak usah." Laila panik sendiri, apalagi ia malu karena ada ayah. "Malu ada ayah," lanjutnya lagi agar sang suami mengerti.
Ayah Laila tertawa kecil melihat reaksi putrinya. "Biarin aja, Nak. Itu bentuk perhatian suami ke istrinya. Dulu waktu ibu hamil kamu, ayah juga sering mijitin kakinya."
Laila masih ragu, tapi Alvian tidak memberi kesempatan baginya untuk menolak. Dengan telaten, pria itu mulai memijat perlahan pergelangan kaki istrinya yang sedikit membengkak.
"Mas..." Laila menghela napas pelan. Sensasi hangat dari tangan Alvian membuatnya rileks tanpa bisa mengelak lagi.
Alvian tersenyum puas melihat istrinya akhirnya menikmati pijatannya. "Nah, gitu dong. Daripada kakinya makin pegal."
Ayah Laila hanya tersenyum senang. Selama ini, Alvian memang perhatikan Laila dengan sangat baik. Bahkan masalah 9 tahun lalu diselesaikan dengan sangat baik. Putusan untuk Ethan sudah keluar. Banyak kejahatan yang sudah dia lakukan sehingga dikenai pasal berlapis. Putusan hakim adalah Ethan mendapatkan hukuman seumur hidup di dalam penjara. Tidak hanya Ethan, tapi ayah Ethan juga terlibat dalam kasus korupsi selama menjabat sebagai menteri perekonomian. Sanksi sosial untuk keluarga mereka juga berlaku. Masyarakat masih cukup sadar bahwa tidak ada tempat untuk pelaku pelecehan dan, pemerkosaan, kejahatan, korupsi dan lainnya.
Laila menikmati kesehariannya lebih berwarna daripada sebelumnya. Traumanya juga perlahan-lahan membaik. Laila memang tidak mengkonsumsi obat, tapi dia selalu terapi dengan dokter yang ahli dibidangnya. Jadi semua dijalani dengan dukungan keluarga dan tentu saja suami tercintanya yaitu Alvian.
***
Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, diiringi dengan suara guyuran shower yang mengguyur tubuh Alvian. Ia baru saja mengoleskan sampo ke rambutnya ketika samar-samar terdengar suara Laila memanggilnya dari luar.
"Mas... Mas Alvian!"
Awalnya, ia mengira hanya panggilan biasa. Namun, nada suara Laila terdengar berbeda—panik dan gemetar.
"Laila?" Alvian buru-buru membilas rambutnya secepat mungkin, tapi sebelum ia sempat menyelesaikannya, suara Laila kembali terdengar, kali ini lebih mendesak.
"Mas! Tolong!"
Seketika itu juga, jantung Alvian berdegup kencang. Ia langsung keluar dari kamar mandi dalam keadaan masih setengah basah, rambutnya masih berbusa, dan hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya.
Begitu melihat Laila yang berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, tangannya memegang perutnya yang besar, dan wajahnya tampak pucat, Alvian langsung panik. Apalagi, di bawahnya ada genangan air yang mengalir dari sela-sela kakinya.
"Laila! Air ketubannya pecah?"
Laila menggigit bibirnya, menahan sakit luar biasa yang menyerang perutnya. "Aku nggak tahu, Mas... sakit banget."
Tanpa berpikir dua kali, Alvian segera berlari ke luar kamar. "Ibu! Ibu!" panggilnya dengan suara keras.
Tak lama, ibunya datang dengan langkah tenang. Berbeda dengan Alvian yang panik luar biasa, ibunya justru tetap tenang menghadapi situasi ini. Dengan pengalaman yang dimilikinya, ia langsung tahu apa yang harus dilakukan.
"Segera bersiap ke rumah sakit, Nak. Laila akan melahirkan," ujar ibu sambil membantu Laila duduk di tepi ranjang.
Alvian masih terengah-engah, matanya melebar. "S-sekarang?"
"Ya, sekarang," jawab ibu tegas. "Ambil pakaian dan perlengkapan yang sudah disiapkan di tas bayi."
Mendengar itu, Alvian seperti baru tersadar. Ia segera berlari kembali ke kamar mandi, membilas kepalanya dengan cepat, lalu berpakaian seadanya. Setelah itu, ia mengambil tas perlengkapan bayi yang sudah mereka siapkan sebelumnya, sementara ibunya terus menemani Laila yang berusaha mengatur napas di tengah kontraksi yang semakin menjadi.
Dengan penuh kehati-hatian, Alvian membantu istrinya berdiri dan membimbingnya keluar rumah menuju mobil. Tangannya tak pernah lepas dari tubuh Laila, seolah-olah jika ia melepaskannya, istrinya akan jatuh.
"Tidak apa-apa, jangan terlalu panik." Ibu menenangkan calon ayah dan ibu itu. Keduanya sama-sama panik.
"Ba-baik, Bu."
Ayah juga ikut ke rumah sakit. Ayah yang akan mengemudi mobil karena Alvian tampak tidak baik-baik saja. Bahaya sekali kalau dia mengemudi dalam keadaan panik.
Alvian menggenggam tangan Laila. Dia mengusap keringat Laila yang keluar. Laila tidak tahu sakitnya akan seperti ini. Dia merasa bersalah kepada ibunya jika selama ini menjadi anak yang tidak baik. Ibunya pun pasti mengalami hal yang sama seperti dirinya.
"Ibu..." rengek Laila.
"Tidak apa-apa, Sayang. Semua akan baik-baik saja." Ibu menyuruh Laila menarik nafas secara pelan-pelan kemudian juga dihembuskan secara perlahan.
Tidak lama kemudian, mereka sampai ke rumah sakit. Laila langsung dibawa ke UGD untuk diperiksa lebih lanjut. Dokter yang bertanggung jawab dalam persalinan melihat sudah pembukaan berapa.
Laila langsung dibawa ke UGD untuk diperiksa lebih lanjut oleh tim medis yang sudah bersiap di sana. Alvian mengikuti dari belakang dengan wajah penuh kekhawatiran, sementara ibu tetap tenang, berusaha menenangkan menantunya.
Di dalam ruangan, seorang dokter perempuan dengan seragam putih langsung mendekati Laila. "Ibu Laila, kami akan melakukan pemeriksaan dulu, ya," ujarnya lembut. Seorang perawat membantu Laila berbaring di ranjang sementara alat-alat medis mulai disiapkan.
Alvian tetap berdiri di samping ranjang, menggenggam tangan istrinya erat. "Aku di sini, Sayang," bisiknya, mencoba memberi kekuatan.
Laila mengangguk, tetapi wajahnya tampak kesakitan. Keringat membasahi dahinya, napasnya memburu. Ia terus mencoba mengikuti saran ibunya untuk menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, tetapi rasa sakit yang semakin intens membuatnya sulit berpikir jernih.
Dokter mulai melakukan pemeriksaan, mengecek detak jantung bayi serta kondisi rahimnya. Setelah beberapa menit, ia menatap Laila dengan ekspresi penuh perhatian. "Ibu Laila, pembukaannya sudah masuk kedua."
Mendengar itu, Alvian semakin tegang. Tangannya refleks mempererat genggaman pada tangan istrinya. "Dua? Masih lama, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar.
Dokter tersenyum kecil. "Kita akan pantau terus perkembangannya, Pak. Jika sudah mencapai pembukaan tujuh, Ibu Laila akan segera dibawa ke ruang bersalin."
Alvian tidak pernah membayangkan betapa menyakitkannya proses persalinan hingga ia mendengar teriakan Laila malam itu. Sekitar pukul sepuluh malam, kontraksi besar menyerang istrinya. Setelah diperiksa oleh bidan, pembukaannya sudah mencapai delapan. Tanpa menunggu lama, Laila langsung dibawa ke ruang persalinan.
Alvian merasa tubuhnya bergetar hebat. Ia tidak pernah membayangkan betapa luar biasanya perjuangan seorang wanita untuk melahirkan. Melihat Laila bertarung dengan rasa sakit demi buah cinta mereka, Alvian berjanji dalam hatinya, ia tidak akan pernah menyakiti istrinya, seumur hidupnya.
Tangan Alvian menggenggam erat tangan Laila. Urat-urat di leher istrinya menegang, wajahnya berkerut menahan sakit yang tak terbayangkan. "Mas... sakit sekali..." suara Laila terdengar parau, nyaris habis karena terlalu sering berteriak.
Alvian semakin mempererat genggamannya, berusaha menyalurkan kekuatan meskipun ia tahu tidak banyak yang bisa ia lakukan selain memberikan semangat. Keringat dingin membanjiri tubuh istrinya, napasnya terengah-engah. "Sayang, kamu pasti bisa... Sedikit lagi, ya," bisiknya, suaranya sendiri bergetar menahan emosi.
Ketakutan mulai menyelimuti Alvian ketika Laila berkali-kali mengatakan bahwa ia lelah dan ingin tidur. Panik menyeruak di dadanya. Tidak, Laila tidak boleh menyerah sekarang. "Sayang, dengerin aku, ya? Laila kuat, aku tahu kamu kuat. Sedikit lagi... demi anak kita," ucapnya dengan suara penuh harap.
Genggaman Laila semakin erat, kukunya menancap ke kulit tangan Alvian. Tapi Alvian tidak peduli dengan rasa sakit itu. Yang terpenting, istrinya terus berjuang.
Di ruangan persalinan itu, keringat, air mata, dan pekikan kesakitan bercampur menjadi satu. Ini adalah perjuangan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Hingga akhirnya, setelah tiga puluh menit yang terasa seperti seumur hidup, suara tangisan bayi menggema di ruangan itu. Air mata Alvian langsung tumpah. Dengan tangan bergetar, ia mengangkat bayi kecil yang masih berlumuran darah. Tali pusarnya masih terlihat jelas, tetapi bagi Alvian, itu adalah pemandangan terindah yang pernah ia lihat dalam hidupnya.
"Terima kasih, Sayang... Terima kasih..." Suaranya pecah, ia tidak bisa menahan tangis. Ia menggenggam tangan Laila, menciumi punggung tangannya dengan penuh syukur. Laila tersenyum lemah, napasnya tersengal, tetapi air matanya pun ikut mengalir.
Akhirnya,
anak mereka lahir dengan selamat. Perjuangan panjang ini terbayar
dengan keajaiban kecil yang kini ada di hadapan mereka.
Extra Part 5
1 tahun kemudian....
Berhubung Laila tidak menyelesaikan pendidikan, maka Alvian mendukung Laila untuk memulai kembali pendidikan sarjananya. Apalagi Laila tipe orang yang sangat suka belajar. Alvian tidak ingin membatasi istrinya. Apalagi ilmu istrinya luar biasa dan dia yakin bisa bermanfaat untuk orang lain. Awalnya Laila menolak, apalagi dia sudah sebentar lagi akan berusia tiga puluh tahun. Namun suaminya memberikan dukungan yang tidak biasa. Pada akhirnya Laila setuju untuk kembali mengenyam pendidikan yang dulunya terhenti karena keadaan.
Laila memilih kuliah semi reguler dimana ada mata kuliah tertentu yang mewajibkan ke kampus dan ada yang lewat online. Jadi Laila tidak sering ke kampus dan tetap bisa menjaga anak mereka yang baru berusia 1 tahun. Nama anak Laila dan Alvian adalah Azka. Anak laki-laki tampan dan yang diharapkan menjadi anak sholeh.
Alvian dan Laila mampu bekerjasama dengan baik dalam mengurus rumah dan mengurus anak. Hal ini sangat penting untuk sebuah rumah tangga. Saling mengerti tanpa menuntut adalah hal dasar demi keharmonisan.
"Sayang..." panggil Alvian yang baru saja keluar dari kamar. Dia keluar sambil menggendong Azka.
"Iya, Mas. Kenapa?"
"Bagusnya aku bawa baju Azka berapa ya?"
Laila mengerutkan kening. Dia sedang membuat cemilan untuk Azka nantinya yang akan ikut ke tempat kerja Alvian. Berhubung bekerja di perusahaannya sendiri, jadi tidak ada yang larang kalau Alvian membawa anak. Apalagi dia sudah membuat ruangan kerjanya sendiri menjadi ramah anak. Alvian membawa Azka hari ini karena Laila akan ujian semester. Jadi dia akan di kampus seharian.
"Satu aja udah," jawab Laila.
"Lah... Kok satu?"
"Emang Mas mau bawa berapa?"
"Bawa berapa ya?" Alvian menatap sang anak sebentar. "Kayaknya lima deh," lanjutnya lagi.
Mata Laila langsung melotot. "Kenapa banyak banget? Mas mau pindah rumah?"
"Nanti Azka pasti makan belepotan," jelas Alvian yang sudah membayangkan bagaimana tingkah anaknya nanti.
"Ya dikasih alas di lehernya supaya bajunya nggak kena." Laila geleng-geleng kepala. Padahal sampai sore saja, tapi suaminya malah mau membawa lima baju untuk Azka.
Alvian tetap bersikeras ingin membawa lebih banyak baju. "Tapi kalau kena tangan atau celana gimana? Harus siap cadangan!" ucapnya penuh keyakinan.
Laila tertawa kecil sambil mengaduk adonan cemilan. "Mas, Azka itu pergi cuma sampai sore. Bukan seminggu."
"Tapi anak kita ini bukan anak biasa, Sayang. Dia bisa makan kayak habis perang. Kalau nggak percaya, lihat aja nanti," balas Alvian sambil mencium pipi chubby putra kecilnya yang sedang bermain-main dengan kerah bajunya.
Azka yang mendengar percakapan orang tuanya hanya menatap mereka dengan mata berbinar, seolah mengerti kalau dirinya sedang menjadi bahan diskusi.
Laila menghela napas, tapi senyumnya tidak bisa ditahan. "Ya sudah, bawa tiga aja. Lebih dari itu nggak perlu," putusnya akhirnya.
Alvian mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil yang tidak dibolehkan membeli mainan. "Yaah, tiga doang?"
"Mas, kalau lebih dari tiga, aku pastikan besok aku yang bawa Azka, dan Mas yang ujian," ancam Laila dengan senyum manis.
Mendengar itu, Alvian langsung mengangguk patuh. "Baik, tiga aja cukup," ucapnya cepat.
Laila tertawa puas melihat ekspresi suaminya. Ia sangat bersyukur memiliki Alvian, pria yang bukan hanya suami penyayang tetapi juga ayah yang sangat perhatian.
Setelah memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas, Alvian kembali mendekati Laila. "Sayang, nanti dikampus jangan lupa makan, ya. Jangan sampai kepikiran Azka. Dia pasti baik-baik aja sama Mas," ujarnya sambil mengecup puncak kepala istrinya.
Laila tersenyum lembut. "Iya, Mas. Aku percaya kok."
Alvian dengan telaten menyiapkan perlengkapan Azka. Dia memasukkan botol susu, popok cadangan, mainan kesayangan Azka, serta beberapa kebutuhan lainnya ke dalam tas. Sementara itu, Azka yang seharusnya duduk manis malah sibuk memanjat tubuh ayahnya.
"Azkaaa, Nak! Papa lagi beresin barang, bukan buat jadi tempat panjat!" ujar Alvian sambil tertawa ketika merasakan tangan kecil putranya mencengkram bahunya dan mencoba naik ke atas pundaknya.
Azka terkikik senang, tangannya semakin erat memeluk kepala sang ayah. "Papaaa!" serunya dengan suara khas anak kecil yang masih cadel.
Meskipun Azka tidak membiarkan Alvian menyiapkan barang-barang dengan tenang, tapi pada akhirnya selesai juga. Alvian segera membawa anaknya keluar kamar. Azka harus sarapan terlebih dahulu. Laila sudah menyiapkan dengan sangat baik.
Selagi Alvian mengawasi anaknya makan sendiri walau belepotan, maka Laila memutuskan untuk bersiap ke kampus. Alvian tertawa sendiri, makanan yang masuk ke dalam mulut anaknya hanya sedikit. Sisanya jatuh ke meja makan khusus.
Alvian membantu agar sang anak mudah makan. Azka juga tidak sulit untuk makan. Bahkan hal ini membuat Alvian dan Laila khawatir. Takut saja kalau anaknya menemukan sesuatu malah langsung dimasukkan ke dalam mulut.
Keluarga kecil Alvian sangat sibuk sekali di pagi hari begini. Setelah Azka sarapan, Alvian menggantikan pakaian karena pakaian sebelumnya sudah kotor. Selanjutnya Alvian membereskan meja makan. Laila juga sudah sarapan.
"Semua udah dibawa?" tanya Laila memastikan.
"Sudah, Sayang." Alvian sudah mengecek berulang-ulang kali.
Akhirnya mereka berangkat meninggalkan rumah. Alvian mengantar istrinya terlebih dahulu. Setelah itu, dia baru pergi ke perusahaan.
Di dalam mobil, Azka duduk manis di car seat-nya, sesekali mengoceh sendiri dengan bahasa bayi yang hanya bisa ia pahami. Tangannya menggenggam mainan kecil yang dibawakan Alvian dari rumah. Sementara itu, Laila duduk di samping Alvian, memeriksa kembali isi tas perlengkapan Azka untuk memastikan semuanya lengkap.
"Jangan lupa kasih dia cemilan kalau mulai rewel, ya," pesan Laila, meskipun ia tahu suaminya sudah sangat perhatian terhadap kebutuhan Azka.
Alvian tersenyum sambil melirik istrinya sekilas. "Iya, Sayang. Aku hafal kok, tenang aja. Kamu fokus ujian, Azka di aku aman," jawabnya penuh keyakinan.
Laila menghela napas lega. Ia tahu Alvian bisa diandalkan, tetapi sebagai ibu, wajar jika ada rasa khawatir meninggalkan anaknya dalam waktu lama. Apalagi, Azka sedang aktif-aktifnya dan suka memasukkan apa saja ke dalam mulut.
Begitu mereka sampai di kampus, Alvian memarkir mobil dan segera keluar untuk membukakan pintu bagi istrinya. "Semangat ujiannya, ya," ucapnya sambil mengecup pucuk kepala Laila lembut.
Laila tersenyum hangat. "Makasih, Mas. Hati-hati di jalan, jangan lupa kasih kabar kalau Azka baik-baik aja."
"Iya, pasti," balas Alvian mantap.
"Hari ini sama Papa dulu ya, soalnya Mama ujian." Laila sedikit berat meninggalkan Azka.
"Mama..." ujar Azka sambil mengulurkan tangan pertanda minta digendong.
Sebelum Laila bertambah berat, dia mengecup anaknya berkali-kali. Kemudian keluar dari mobil.
Setelah memastikan Laila masuk ke gedung kampus dengan aman, Alvian kembali ke mobil. Ia menoleh ke arah Azka yang sibuk menggigit buah naga. Tampaknya sang istri mengganti mainan yang dipegang Azka menjadi buah naga. "Kita ke kantor, Nak. Hari ini kita kerja bareng!" katanya dengan nada ceria.
Azka menatap ayahnya dengan mata berbinar, lalu tertawa kecil. Melihat itu, hati Alvian terasa hangat. Bagi orang lain, membawa anak ke tempat kerja mungkin merepotkan, tetapi bagi Alvian, momen ini adalah anugerah.
Selama perjalanan menuju perusahaan, Alvian terus mengajak Azka berbicara. Sesekali, ia melirik ke kaca tengah untuk memastikan anaknya nyaman. Meski pagi ini terasa sibuk dan padat, ada kebahagiaan sederhana dalam rutinitas mereka sebagai keluarga kecil yang penuh cinta dan perhatian.
Alvian akhirnya sampai di parkiran perusahaan. Ia tertawa kecil melihat Azka yang mulutnya sudah belepotan karena buah naga yang tadi ia makan di perjalanan.
"Akhirnya kita sampai, Nak. Ini tempat kerja Papa," ucap Alvian dengan nada lembut. Walaupun Azka masih bayi, Alvian tetap suka mengajaknya berbicara, seolah anaknya benar-benar mengerti. Bahkan ia sering bercerita tentang berbagai hal yang sebenarnya belum bisa dicerna oleh Azka yang baru berusia delapan bulan.
Setelah mematikan mesin mobil, Alvian keluar dan melirik ke sekeliling. Sudah ada beberapa mobil yang terparkir, menandakan para karyawan dan rekan-rekannya telah lebih dulu tiba.
Alvian membuka pintu kursi belakang dan mendapati Azka sedang asyik menggigit jarinya. Dengan cekatan, ia melepas tali pengaman car seat dan menyiapkan gendongan depan yang sudah melekat di tubuhnya. Tanpa kesulitan, ia mengangkat Azka dan menempatkannya dengan nyaman di dalam gendongan.
Sebelum masuk ke dalam kantor, Alvian mengambil tisu untuk membersihkan mulut dan tangan anaknya agar tidak mengotori pakaian. Meski tidak masalah jika di rumah, tetapi di kantor ia bisa saja harus bertemu klien atau menghadiri rapat mendadak, jadi setidaknya ia harus terlihat rapi.
Azka mulai berceloteh dengan bahasa bayinya, tangannya bergerak aktif, sementara kakinya menendang-nendang ringan.
"Senang ya ikut Papa kerja?" tanya Alvian sambil tersenyum.
"Yayayayay," sahut Azka dengan nada ceria, meski ucapannya belum jelas.
Alvian mengusap pucuk kepala sang anak dengan penuh kasih sayang. "Pintarnya anak Papa," gumamnya bangga.
Saat memasuki perusahaan, Alvian dapat merasakan banyak tatapan tertuju padanya. Beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan langsung menyapanya.
"Pagi, Pak," ujar salah satu karyawan dengan sopan.
"Pagi," jawab Alvian dengan senyum tipis.
Beberapa karyawan tampak saling berbisik, mungkin terkejut melihat bos mereka datang sambil menggendong anak. Alvian memang jarang membagikan kehidupan pribadinya di media sosial, kecuali saat Azka baru lahir. Ini adalah pertama kalinya ia membawa anaknya ke kantor setelah sekian lama.
Meski begitu, Alvian tidak ambil pusing. Ia berjalan dengan percaya diri, meskipun barang bawaannya cukup banyak. Di pundaknya tersandang tas perlengkapan Azka, sementara di punggungnya ada ransel kerja yang berisi laptop dan dokumen.
Namun, satu hal yang tak bisa dipungkiri, pesona Alvian justru semakin bertambah saat menggendong anaknya. Ketampanannya semakin terpancar, terutama dengan sosok ayah penyayang yang begitu perhatian pada buah hatinya.
Alvian dan Laila masih memiliki hari yang panjang didepan saja. Tapi keduanya berusaha menjadi versi yang lebih baik dibanding sebelumnya. Mereka juga bukan orang tua yang sempurna namun mereka mau untuk belajar agar bisa menjadi orang tua yang terbaik untuk anak mereka.
****
***
**
*
Terima kasih sudah membaca cerita ini sampai selesai. Semoga terhibur. Cerita ini hanya fiktir belaka. Ambil baik dan buang buruknya. Siapapun yang pernah mengalami hal mengerikan, semoga bisa bangkit dan tetap menjalani hidup dengan baik. Sekali lagi, terima kasih dan sampai jumpa dikarya saya selanjutnya....🌻🌻🌻🌻🌻
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya